Mobilitas Translokal dan Otoritas Tradisional Praktik dan Wacana Sufi Sebagai Aspek Kehidupan Muslim Sehari-hari

Translocal mobility and traditional authority

Sufi practices and discourses as facets of everyday  Muslim life

 

Catharina Raudvere and Leif  Stenberg


 


Mistik sudah menjadi fenomena umum yang mewakili garis saat ini melewati banyak agama besar di dunia seperti hindu, budha, manichaeism, zoroastrianism, helenism, judaism, chistiani dan islam (Anjum, 2006).  Dalam kehidupan keagamaan kontemporer, praktik tasawuf dan ritual sufi tidak dapat dilepaskan dalam pengaruh mistisisme salah satu ekpresi dalam kehidupan seorang muslim.

            Kehidupan seorang sufi adalah hal yang menarik untuk di kaji tidak hanya dari factor mistik tetapi dapat dikaji dari segi yang lain yaitu dari segi kehidupan keseharian seorang sufi. Artikel yang ditulis oleh catharina raudvere dan leif Stenberg mempunyai pandangan berbeda tentang kajian tentang sufi dan tasawuf yaitu membahas tentang mobilitas sufi dalam kehidupan beragama kontenporer.  Secara garis besar periode sufi dibagi menjadi tiga yaitu; sufi masa kelasik, sufi masa modern dan sufi masa kontemporer. Kajian artikel yang ditulis oleh catharina raudvere dan leif Stenberg lebih condong membahas sufi pada masa kontemporer yaitu tetang kehidupan sufi dan mobilitas lintas negara (transnasional).

Sufi saat ini bertransformasi menjadi transnasional yaitu dengan banyaknya migrasi ke beberapa negara akibat dari adanya perang dunia II yang memunculkan komunitas sufi diaspora atau disebut “pihak ketiga” kemudian dibeberapa negara yang menjadi inspirasi munculnya beberapa organisasi pergerakan. Dengan berkembangnya teknologi seperti internet dan arus mobilisasi, menjadikan orang biasa menjadi mampu dan berkomunikasi dalam kegiatan hal ini menjadikan tasawuf dan tarekat mengikuti perkembangan perkotaan dan terbuka terhadap  budaya global dan komunikasi bentuk baru.


PEMBAHASAN

Sufi dan tasawuf dalam aliran transnasional

Tasawuf dalam beberapa studi islam didefinisikan sebagai kategori yang sulit dipahami dan luas seperti mistisisme dalam islam atau jalan mistik islam.  Penyajian tasawuf yang diidealkan sebagai sejarah mistik dan tatanan saleh yang sedikit banyak terpisah dari masyarakat dalam dunia puisi dan ritual yang indah, atau sebagai garis abstrak mistisisme universalis dan esensialis, telah memainkan peran penting dalam sejarah Orientalisme.  Akibatnya, banyak yang masih mentransmisikan citra Sufi sebagai terasing dari Muslim lain dan secara umum dianggap sebagai tantangan bagi Islam dan Muslim. Citra sufi sebagai terasing ini di sebabkan oleh jalan yang harus dilalui seorang sufi menuju ketingkatan makrifat sehingga aliran sufi beranggapan meninggalkan dunia dapat mengantarkan mereka ke tingkatan tersebut. Sifat sufistik dapat dinilai sebagai sifat yang positif dan dapat juga dinilai sebagai sifat negatif. Dapat dikatakan sifat positif karena memiliki perilaku zuhud yaitu kegiatan yang meninggalkan gemerlapnya kehidupan dunia, sedangkan sifat sufistik dapat dikatakan negatif karena mereka bersifat apatis atau tidak peduli terhadap lingkungan sekitar.

            Kehidupan seorang sufi  baik sebagai suatu kelompok baik formal maupun informal, muslim sufi tidak selalu menentang bentuk kehidupan organisasi muslim lainnya seperti jemaat, asosiasi, atau jaringan yang lebih longgar. Dari perspektif lokal pertemuan sufi tidak  bersaing dengan komunitas muslim lainnya, sebaliknya mereka seringa ada di dalam diri mereka dalam jaringan pertemuan doa.

            Pada periode sufi kontemporer berdasarkan penelitian yang diakomodasi Bruinessen dan Howell dapat  dipaparkan sembilan karakter historis sufisme kontemporer, yaitu: (1)  tasawuf sebagai varietas transnasionalisme, (2) perubahan hubungan  kewenangan dan pola asosiasi dalam sufisme, (3) penekanan sufisme  sebagai khidmat, (4) sikap akomodatif sufisme terhadap rezim baru, (5) sufisme sebagai basis mobilisasi politik masyarakat sipil, (6)  pengembangan bentuk unit asosiasi sukarela lokal, (7) sikap solutif sufisme dalam pusaran politik, (8) penggabungan sufisme dengan semangat salafi dan aktivisme politik, dan (9) relasi global,  transnasionalis, dan hibriditas (Huda, 2017).

            Sejalan apa yang diteliti oleh Bruinessen dan Howell tentang Sembilan karakter sufisme kontemporer, catharina raudvere dan leif Stenberg menguraikan tentang tasawuf dapat membentuk jaringan transnasional (lintas negara). Hal ini dibuktikan dengan adanya arus orang, komuditas budaya dan ide, migrasi masal setelah perang dunia ke II menghasilkan peningkatan yang signifikan dari kontak global, dan pertukaran diaspora modern akhir telah menyebabkan tumbuhnya keterlibatan agama bagi banyak individu. Transnasional merupakan sebuah istilah yang berkaitan tentang migrasi keluarga dari timur tengah dan turki ke Eropa (Malik & Hinnels, 2015), migrasi ini kemudian disebut dengan diaspora. Diaspora adalah sebutan masa tercerai-berainya suatu bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara, misalnya bangsa Yahudi yang tersebar di seluruh dunia (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, 2016).

Beberapa diaspora bertemu dan membentuk sebuah jaringan Gerakan transnasional organisasi sufi. Kemudian pengaruh kemajuan teknologi dan globalisasi menjadikan beberapa sufi menjadi tulang punggung organisasi politik dan bisnis. Dibeberapa negara muncul gerakan jaringan transnasional, Gerakan ini umumnya memiliki ciri ideologi yang tidak lagi bertumpu pada konsep kenegaraan (nation-state), melainkan cenderung fokus pada konsep ideologi untuk kemaslahatan umat.  Gerakan ini didominasi oleh corak pemikiran normatif, skripturalis, fundamentalis yang terkadang secara parsial mengadaptasi gagasan dan instrumen modern (Aksa, 2017). Dalam buku ini diuraikan peran sufi transnasional menjadi agen pemersatu suku dan pembentukan negara. Gerakan transnasional dan tasawuf ini muncul dibeberapa negara yaitu di Mesir  terbentuknya ikwanul muslimin yang di inisiasi oleh Hasan Al Banna, Naqsybandiyya dan Qadiriyya, British Sufi Muslim Council (SMC).

Gerakan transnasional yang dilakukan oleh komunita sufi diaspora dapat menjadi contoh bagaimana “budaya ketiga” menjadi saluran arus budaya, Sufi diaspora membawa ideologi dan budaya kenegara yang mereka datangi hal ini memunculkan kontak global yang melintasi etnis. Sementara itu di Indonesia Gerakan transnasional ini muncul disebabkan oleh hubungan antara Indonesia dengan negara timur tengah banyak orang Indonesia yang pergi ke timur tengah untuk berdagang, haji, belajar maupun sebagai ulama. Kemudian pelajar Indonesia belajar di timur tengah kemudian setelah selesai belajar mereka kembali ke Indonesia dengan membawa ide atau gagasan yang berbeda-beda hal ini yang melandasi kelahiran Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama.

Studi Islam dan studi Muslim

Penelitian tentang kehidupan sehari-hari Muslim telah menjadi bidang yang berkembang secara teoritis selama beberapa dekade, dan sebagian besar diwarnai oleh perspektif sosiologi dan antropologi. Beberapa penelitian yang di tawarkan oleh para sarjana studi agama dalam melihat kesenjangan studi islam antara ilmu social dan focus studi islam pada arus utama. Charles J Adam adalah salah satu ahli yang menggunakan metode dan pendekatan studi islam karena kegelisahan yang terjadi yaitu kegagalan para sarjana studi islam untuk memperdalam tentang islam dan keberagaman dalam islam, Untuk menjawab kegelisahan akademik tersebut,  Charles J. Adam  menggunakan dua disiplin,  yaitu  sejarah  agama  dan  studi  Islam  sebagai  kerangka  teoritis  atau  kerangka  fikir (conceptual tool) untuk menganalisis lebih tajam tradisi Islam dan untuk memperoleh pemahaman  yang  jelas  mengenai  hubungan  antara  unsur  yang  bermacam-macam termasuk hubungan struktural dengan tradisi lainnya (Anwar, 2017).

Pergeseran dari fokus pada Islam sebagai konsep teologis ke minat pada definisi lokal tentang apa yang dapat dimaknai Islam bagi orang-orang yang mempraktikkannya mengarah pada agensi dan konten dengan karya-karya Clifford Geertz, Talal Asad dan Dale F. Eickelman. Prasyarat pergeseran akademik ini telah dibahas secara mendalam oleh Dale F. Eickelman dalam bukunya yang inovatif, The Middle East.

Banyak penelitian dalam proses ini yang layak disebutkan. Dalam Everyday Life in the Muslim Middle East (1993), kumpulan artikel yang diedit oleh Donna Lee Bowen dan Evelyn A. Pada awalnya, praktik dan pertunjukan hiburan dengan bentuk ekspresi budaya dan interaksi sosial lainnya. Dengan demikian agama digambarkan dalam buku mereka sebagai aspek kehidupan sehari-hari.

 

Tasawuf dalam kehidupan sehari-hari

Tasawuf dalam konteks saat ini mengacu pada praktik dan aktifitas yang dilakukan manusia dalam kesehariannya, kurang lebih praktik tasawuf sudah menjadi keseharian baik yang berupa ritual sehari-hari maupun tindakan non ritual sadar atau tidak sadar terkait dengan kehidupan beragama. Praktek tasawuf dalam kehidupan sehari-hari berbeda dan bervariasi dalam kelompok yang berbeda, tetapi masih terhubung dengan interaksi antara agama dan praktik-praktik sosial. Dari pandangan praktek keseharian tasawuf tidak dapat dipisahkan antara budaya dan masyarakat. Sebaliknya, dari perspektif konstruktivis (dalam konsep yang paling umum) agama dalam segala ragamnya selalu merupakan hasil dari kontek budaya dan sosial.

Beragamnya praktek tasawuf dalam kehidupan keseharian dipengaruhi dari tidak memaksakannya ideologi  diaspora transnasional dari negara asalanya. Tasawuf di Indonesia tidak dapat dilepaskan berkaitan penyebaran islam di Nusantara oleh wali songo, dalam menyebarkan wali songo menggunakan tasawuf berbasis nilai dalam menyebarkan agama islam. Beberapa praktek tasawuf dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia yaitu  tarekat Qadiriyah, tarekat Naqsyabandiyah, tarekat Khalwatiyyah, tarekat Syaththariyah, tarekat Sammaniyah, tarekat Tijaniyah, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.


Ranah ekspresif agama

Beberapa ciri Islam sufistik dapat dikenali dari ekspresi keagamaan Muslim yang masih lestari sampai saat ini. Pertama, penghormatan pada guru, baik masih hidup maupun yang sudah meninggal. Penghormatan ini melahirkan tradisi ziarah kubur ke makam para ulama dan wali berkembang subur di kalangan umat Islam Indonesia (HS, 2014, p. 21).

 Kedua, pembacaan shalawat kepada nabi, pembacaan ini telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga lahir berbagai macam sholawat, seperti pembacaan Maulid Nabi, diba‟, barzanji, shalawat munjiyat, manaqib dan lain-lain. Ketiga, tradisi pembacaan tahlil dan pembacaan Al-Qur‟an saat ada orang meninggal dunia. Selain dijadikan sarana mendoakan orang Muslim yang meninggal, Keempat, para Wali melakukan kreasi dalam berdakwah dengan menggunakan berbagai sarana misalnya seni wayang atau pemanfaatan alat tradisional seperti beduk dan kentongan untuk keperluan ibadah umat Islam (HS, 2014, p. 22).

Beberapa contoh diatas merupakan tradisi yang awalnya tidak berhubungan dengan islam bersinergi dengan agama islam seperti awalnya pra islam ketika ada orang meninggal di isi dengan judi dan minum minuman keras, kemudian dengan datangnya islam dikreasi dengan tradisi pembacaan tahlil dan pembacaan al-quran. Kegiatan ekspresi keagamaan yang berkaitan dengan sufisme berbeda-beda di tiap negara dan kreasi diaspora dalam menggabungkan nilai agama dan  tradisi dalam masyarakat untuk mengekspresikan kesalehan dalam beragama. Selain itu ranah ekspresif agama lainnya di Indonesia yaitu munculnya beberapa thariqat  paling banyak pengaruhnya di Indonesia, terutama di daerah Sumatera, Jawa, dan Madura adalah Thariqat Qadiriyah dan Naqsabandiyah.

Di negara Eropa seperti Inggris, masyarakat disana lebih condong ke wahabiyah dalam mengekspresikan kesalehan mereka, dalam kegiatan keseharian mereka memandang bahwa sufi lebih condong ke mistis dan memandang kegiatan yang dilakukan oleh sufi kebanyakan adalah kegiatan bid’ah yang tidak ada dalam ajaran islam.  

Dari dua contoh diatas tentang ekspresi agama tidak dapat terlepas dari munculnya komunitas dan jaringan di era kontemporer menjadi salah satu ciri sosial tasawuf itu sendiri. Thariqat dalam sufi membangun identitas dengan mengacu pada wacana tentang perpaduan hierarki dan kepemilikan yang di ekspresikan dalam sebuah ritual keagamaan. Jaringan sufi di era kontemporer lebih siap dalam menavigasi beradaptasi dengan nora-norma dan budaya baru. Dengan demikian, pembentukan komunitas lokal dapat berfungsi sebagai penjaga norma sekaligus pemecah norma.

 Komunitas membentuk hubungan yang kuat antara individu pada tingkat konkret atau sehari-hari (keluarga atau keanggotaan formal), tetapi juga dalam hal persekutuan agama yang lebih emosional. Oleh karena itu, kelompok sufi tampaknya menjadi kendaraan yang berguna ketika bergerak dalam keadaan translokal. Komunitas adalah salah satu kategori yang paling sering digunakan ketika diaspora Muslim dipelajari, dan kemudian paling sering mengacu pada persekutuan etnis dari organisasi yang kurang lebih formal. Komunitas sufi di diaspora menarik karena mereka cenderung melepaskan diri dari kategori stabil ini.

Domain terakhir, institusi, bisa lebih atau kurang formal dan oleh karena itu berfungsi mengatur, melestarikan, memodifikasi atau mendisiplinkan juga dalam kehidupan lokal. Tarekat sufi adalah contoh, setidaknya idealnya, lembaga yang sangat formal yang cabang-cabangnya dapat berfungsi sebagai syarat untuk kontak transnasional di sepanjang penghubung tarekat. Namun, dalam praktiknya, mereka juga menghasilkan jaringan hubungan informal antara berbagai kelompok pengikut Sufi lainnya, apakah mereka didefinisikan sebagai pemuda, wanita, atau pebisnis.

Kelompok diaspora selalu rentan. Baik islamofobia maupun struktur kekuasaan internal dapat membuat individu curiga terhadap studi akademis. Karena dua bagian dari proyek 'Pengasingan dan Tradisi' didefinisikan dengan jelas dalam konteks lokal dan bertujuan untuk menganalisis bagaimana individu berpartisipasi dalam jaringan dan kelompok, penting untuk menekankan agen sebagai penafsir aktif dan bukan sebagai korban globalisasi, transnasionalisme dan proses makro lainnya.

Budaya ketiga dalam era kontemporer dapat diartikan sebagai bentuk untuk aliran budaya, dapat digunakan untuk menidentifikasi ruang sufi untuk bergerak, menggabungkan dan memobilisasi kelompok sufi. Komunitas sufi dalam hal informal menawarkan hubungan antara rumah dengan diaspora; di satu sisi adalah kaitan dengan konsepsi tanah air, otoritas tradisional dan pemujaan kuil, di sisi lain banyak dari mereka menunjukkan keterbukaan terhadap budaya global dan mode komunikasi baru.

 

Daftar Pustaka

Aksa. (2017). Gerakan Islam Transnasional: Sebuah Nomenklatur, Sejarah dan Pengaruhnya di Indonesia. Yupa: Historical Studies Journal, 1(1).

Anjum, T. (2006). Sufism in History and its Relationship with Power on JSTOR. Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad. https://www-jstor-org.ezproxy.ugm.ac.id/stable/20839016?searchText=SUFISM+life&searchUri=%2Faction%2FdoBasicSearch%3FQuery%3DSUFISM%2Blife&ab_segments=0%2Fbasic_search_gsv2%2Fcontrol&refreqid=fastly-default%3A7871bbc2276628520d1a79dc12326796#metadata_info

Anwar, S. (2017). PENDEKATAN DALAM PENGKAJIAN ISLAM: Kontribusi Charles J.Adam Terhadap Kegelisahan Akademik. An-Nas, 1(2), 103–103. https://doi.org/10.36840/AN-NAS.V1I2.51

HS, M. (2014). Islam, Budaya Indonesia, dan Posisi Kajian Islam di Perguruan Tinggi Islam. KHAZANAH, XII(1).

Huda, S. (2017). Karakter Historis Sufisme pada Masa Klasik, Modern, dan Kontemporer. Teosofi: Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam, 7(1), 64–95. https://doi.org/10.15642/TEOSOFI.2017.7.1.64-95

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset,  dan T. R. I. (2016). Diaspora. Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/diaspora

Malik, J., & Hinnels, J. (2015). Sufi-Sufi Diaspora: Fenomena Sufisme di Negara-Negara Barat. Mizan.

Posting Komentar untuk "Mobilitas Translokal dan Otoritas Tradisional Praktik dan Wacana Sufi Sebagai Aspek Kehidupan Muslim Sehari-hari"