Mobilitas Translokal dan Otoritas Tradisional Praktik dan Wacana Sufi Sebagai Aspek Kehidupan Muslim Sehari-hari
Translocal mobility and traditional authority
Sufi practices and discourses as facets of everyday Muslim life
Catharina Raudvere and Leif Stenberg
Kehidupan
seorang sufi adalah hal yang menarik untuk di kaji tidak hanya dari factor
mistik tetapi dapat dikaji dari segi yang lain yaitu dari segi kehidupan keseharian
seorang sufi. Artikel yang ditulis oleh catharina raudvere dan leif Stenberg
mempunyai pandangan berbeda tentang kajian tentang sufi dan tasawuf yaitu
membahas tentang mobilitas sufi dalam kehidupan beragama kontenporer. Secara garis besar periode sufi dibagi menjadi
tiga yaitu; sufi masa kelasik, sufi masa modern dan sufi masa kontemporer.
Kajian artikel yang ditulis oleh catharina raudvere dan leif Stenberg lebih
condong membahas sufi pada masa kontemporer yaitu tetang kehidupan sufi dan
mobilitas lintas negara (transnasional).
Sufi saat ini bertransformasi menjadi transnasional yaitu dengan banyaknya migrasi ke beberapa negara akibat dari adanya perang dunia II yang memunculkan komunitas sufi diaspora atau disebut “pihak ketiga” kemudian dibeberapa negara yang menjadi inspirasi munculnya beberapa organisasi pergerakan. Dengan berkembangnya teknologi seperti internet dan arus mobilisasi, menjadikan orang biasa menjadi mampu dan berkomunikasi dalam kegiatan hal ini menjadikan tasawuf dan tarekat mengikuti perkembangan perkotaan dan terbuka terhadap budaya global dan komunikasi bentuk baru.
PEMBAHASAN
Sufi
dan tasawuf dalam aliran transnasional
Tasawuf
dalam beberapa studi islam didefinisikan sebagai kategori yang sulit dipahami
dan luas seperti mistisisme dalam islam atau jalan mistik islam. Penyajian tasawuf yang diidealkan sebagai
sejarah mistik dan tatanan saleh yang sedikit banyak terpisah dari masyarakat
dalam dunia puisi dan ritual yang indah, atau sebagai garis abstrak mistisisme
universalis dan esensialis, telah memainkan peran penting dalam sejarah
Orientalisme. Akibatnya, banyak yang
masih mentransmisikan citra Sufi sebagai terasing dari Muslim lain dan secara
umum dianggap sebagai tantangan bagi Islam dan Muslim. Citra sufi sebagai terasing
ini di sebabkan oleh jalan yang harus dilalui seorang sufi menuju ketingkatan makrifat
sehingga aliran sufi beranggapan meninggalkan dunia dapat mengantarkan mereka
ke tingkatan tersebut. Sifat sufistik dapat dinilai sebagai sifat yang positif
dan dapat juga dinilai sebagai sifat negatif. Dapat dikatakan sifat positif
karena memiliki perilaku zuhud yaitu kegiatan yang meninggalkan gemerlapnya kehidupan
dunia, sedangkan sifat sufistik dapat dikatakan negatif karena mereka bersifat
apatis atau tidak peduli terhadap lingkungan sekitar.
Kehidupan
seorang sufi baik sebagai suatu kelompok
baik formal maupun informal, muslim sufi tidak selalu menentang bentuk
kehidupan organisasi muslim lainnya seperti jemaat, asosiasi, atau jaringan
yang lebih longgar. Dari perspektif lokal pertemuan sufi tidak bersaing dengan komunitas muslim lainnya,
sebaliknya mereka seringa ada di dalam diri mereka dalam jaringan pertemuan
doa.
Pada periode sufi kontemporer berdasarkan
penelitian yang diakomodasi Bruinessen dan Howell dapat dipaparkan sembilan karakter historis sufisme
kontemporer, yaitu: (1) tasawuf sebagai
varietas transnasionalisme, (2) perubahan hubungan kewenangan dan pola asosiasi dalam sufisme,
(3) penekanan sufisme sebagai khidmat,
(4) sikap akomodatif sufisme terhadap rezim baru, (5) sufisme sebagai basis
mobilisasi politik masyarakat sipil, (6)
pengembangan bentuk unit asosiasi sukarela lokal, (7) sikap solutif
sufisme dalam pusaran politik, (8) penggabungan sufisme dengan semangat salafi
dan aktivisme politik, dan (9) relasi global,
transnasionalis, dan hibriditas (Huda, 2017).
Sejalan apa yang diteliti oleh Bruinessen
dan Howell tentang Sembilan karakter sufisme kontemporer, catharina raudvere
dan leif Stenberg menguraikan tentang tasawuf dapat membentuk jaringan
transnasional (lintas negara). Hal ini dibuktikan dengan adanya arus orang,
komuditas budaya dan ide, migrasi masal setelah perang dunia ke II menghasilkan
peningkatan yang signifikan dari kontak global, dan pertukaran diaspora modern
akhir telah menyebabkan tumbuhnya keterlibatan agama bagi banyak individu. Transnasional
merupakan sebuah istilah yang berkaitan tentang migrasi keluarga dari timur
tengah dan turki ke Eropa (Malik & Hinnels, 2015),
migrasi ini kemudian disebut dengan diaspora. Diaspora adalah sebutan masa
tercerai-berainya suatu bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia dan
bangsa tersebut tidak memiliki negara, misalnya bangsa Yahudi yang tersebar di
seluruh dunia (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, 2016).
Beberapa diaspora bertemu dan membentuk sebuah
jaringan Gerakan transnasional organisasi sufi. Kemudian pengaruh kemajuan
teknologi dan globalisasi menjadikan beberapa sufi menjadi tulang punggung
organisasi politik dan bisnis. Dibeberapa negara muncul gerakan jaringan
transnasional, Gerakan ini umumnya memiliki ciri ideologi yang tidak lagi
bertumpu pada konsep kenegaraan (nation-state), melainkan cenderung fokus pada
konsep ideologi untuk kemaslahatan umat. Gerakan ini didominasi oleh corak pemikiran
normatif, skripturalis, fundamentalis yang terkadang secara parsial
mengadaptasi gagasan dan instrumen modern (Aksa, 2017).
Dalam buku ini diuraikan peran sufi transnasional menjadi agen pemersatu suku dan
pembentukan negara. Gerakan transnasional dan tasawuf ini muncul dibeberapa
negara yaitu di Mesir terbentuknya
ikwanul muslimin yang di inisiasi oleh Hasan Al Banna, Naqsybandiyya dan
Qadiriyya, British Sufi Muslim Council (SMC).
Gerakan transnasional yang dilakukan oleh komunita
sufi diaspora dapat menjadi contoh bagaimana “budaya ketiga” menjadi saluran
arus budaya, Sufi diaspora membawa ideologi dan budaya kenegara yang mereka
datangi hal ini memunculkan kontak global yang melintasi etnis. Sementara itu di
Indonesia Gerakan transnasional ini muncul disebabkan oleh hubungan antara
Indonesia dengan negara timur tengah banyak orang Indonesia yang pergi ke timur
tengah untuk berdagang, haji, belajar maupun sebagai ulama. Kemudian pelajar
Indonesia belajar di timur tengah kemudian setelah selesai belajar mereka
kembali ke Indonesia dengan membawa ide atau gagasan yang berbeda-beda hal ini
yang melandasi kelahiran Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama.
Studi
Islam dan studi Muslim
Penelitian tentang kehidupan sehari-hari Muslim telah
menjadi bidang yang berkembang secara teoritis selama beberapa dekade, dan
sebagian besar diwarnai oleh perspektif sosiologi dan antropologi. Beberapa
penelitian yang di tawarkan oleh para sarjana studi agama dalam melihat
kesenjangan studi islam antara ilmu social dan focus studi islam pada arus
utama. Charles J Adam adalah salah satu ahli yang menggunakan metode dan pendekatan
studi islam karena kegelisahan yang terjadi yaitu kegagalan para sarjana studi
islam untuk memperdalam tentang islam dan keberagaman dalam islam, Untuk
menjawab kegelisahan akademik tersebut,
Charles J. Adam menggunakan dua
disiplin, yaitu sejarah
agama dan studi
Islam sebagai kerangka
teoritis atau kerangka
fikir (conceptual tool) untuk menganalisis lebih tajam tradisi Islam dan
untuk memperoleh pemahaman yang jelas
mengenai hubungan antara
unsur yang bermacam-macam termasuk hubungan struktural
dengan tradisi lainnya (Anwar, 2017).
Pergeseran dari fokus pada Islam sebagai konsep
teologis ke minat pada definisi lokal tentang apa yang dapat dimaknai Islam
bagi orang-orang yang mempraktikkannya mengarah pada agensi dan konten dengan
karya-karya Clifford Geertz, Talal Asad dan Dale F. Eickelman. Prasyarat pergeseran
akademik ini telah dibahas secara mendalam oleh Dale F. Eickelman dalam bukunya
yang inovatif, The Middle East.
Banyak penelitian dalam proses ini yang layak
disebutkan. Dalam Everyday Life in the Muslim Middle East (1993), kumpulan
artikel yang diedit oleh Donna Lee Bowen dan Evelyn A. Pada awalnya, praktik
dan pertunjukan hiburan dengan bentuk ekspresi budaya dan interaksi sosial
lainnya. Dengan demikian agama digambarkan dalam buku mereka sebagai aspek
kehidupan sehari-hari.
Tasawuf
dalam kehidupan sehari-hari
Tasawuf dalam konteks saat ini mengacu pada praktik
dan aktifitas yang dilakukan manusia dalam kesehariannya, kurang lebih praktik
tasawuf sudah menjadi keseharian baik yang berupa ritual sehari-hari maupun
tindakan non ritual sadar atau tidak sadar terkait dengan kehidupan beragama. Praktek
tasawuf dalam kehidupan sehari-hari berbeda dan bervariasi dalam kelompok yang
berbeda, tetapi masih terhubung dengan interaksi antara agama dan
praktik-praktik sosial. Dari pandangan praktek keseharian tasawuf tidak dapat
dipisahkan antara budaya dan masyarakat. Sebaliknya, dari perspektif konstruktivis
(dalam konsep yang paling umum) agama dalam segala ragamnya selalu merupakan hasil
dari kontek budaya dan sosial.
Beragamnya praktek tasawuf dalam kehidupan keseharian
dipengaruhi dari tidak memaksakannya ideologi
diaspora transnasional dari negara asalanya. Tasawuf di Indonesia tidak
dapat dilepaskan berkaitan penyebaran islam di Nusantara oleh wali songo, dalam
menyebarkan wali songo menggunakan tasawuf berbasis nilai dalam menyebarkan
agama islam. Beberapa praktek tasawuf dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia
yaitu tarekat Qadiriyah, tarekat
Naqsyabandiyah, tarekat Khalwatiyyah, tarekat Syaththariyah, tarekat
Sammaniyah, tarekat Tijaniyah, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah.
Ranah ekspresif
agama
Beberapa ciri Islam sufistik dapat dikenali dari
ekspresi keagamaan Muslim yang masih lestari sampai saat ini. Pertama,
penghormatan pada guru, baik masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Penghormatan ini melahirkan tradisi ziarah kubur ke makam para ulama dan wali
berkembang subur di kalangan umat Islam Indonesia (HS, 2014, p. 21).
Kedua, pembacaan shalawat kepada nabi, pembacaan ini telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga lahir berbagai macam sholawat, seperti pembacaan Maulid Nabi, diba‟, barzanji, shalawat munjiyat, manaqib dan lain-lain. Ketiga, tradisi pembacaan tahlil dan pembacaan Al-Qur‟an saat ada orang meninggal dunia. Selain dijadikan sarana mendoakan orang Muslim yang meninggal, Keempat, para Wali melakukan kreasi dalam berdakwah dengan menggunakan berbagai sarana misalnya seni wayang atau pemanfaatan alat tradisional seperti beduk dan kentongan untuk keperluan ibadah umat Islam (HS, 2014, p. 22).
Beberapa contoh diatas merupakan tradisi yang awalnya
tidak berhubungan dengan islam bersinergi dengan agama islam seperti awalnya
pra islam ketika ada orang meninggal di isi dengan judi dan minum minuman
keras, kemudian dengan datangnya islam dikreasi dengan tradisi pembacaan tahlil
dan pembacaan al-quran. Kegiatan ekspresi keagamaan yang berkaitan dengan sufisme
berbeda-beda di tiap negara dan kreasi diaspora dalam menggabungkan nilai agama
dan tradisi dalam masyarakat untuk
mengekspresikan kesalehan dalam beragama. Selain itu ranah ekspresif agama
lainnya di Indonesia yaitu munculnya beberapa thariqat paling banyak pengaruhnya di Indonesia,
terutama di daerah Sumatera, Jawa, dan Madura adalah Thariqat Qadiriyah dan
Naqsabandiyah.
Di negara Eropa seperti Inggris, masyarakat disana
lebih condong ke wahabiyah dalam mengekspresikan kesalehan mereka, dalam kegiatan
keseharian mereka memandang bahwa sufi lebih condong ke mistis dan memandang
kegiatan yang dilakukan oleh sufi kebanyakan adalah kegiatan bid’ah yang tidak
ada dalam ajaran islam.
Dari dua contoh diatas tentang ekspresi agama tidak
dapat terlepas dari munculnya komunitas dan jaringan di era kontemporer menjadi
salah satu ciri sosial tasawuf itu sendiri. Thariqat dalam sufi membangun identitas
dengan mengacu pada wacana tentang perpaduan hierarki dan kepemilikan yang di
ekspresikan dalam sebuah ritual keagamaan. Jaringan sufi di era kontemporer
lebih siap dalam menavigasi beradaptasi dengan nora-norma dan budaya baru. Dengan
demikian, pembentukan komunitas lokal dapat berfungsi sebagai penjaga norma
sekaligus pemecah norma.
Komunitas membentuk hubungan yang kuat antara individu pada tingkat konkret atau sehari-hari (keluarga atau keanggotaan formal), tetapi juga dalam hal persekutuan agama yang lebih emosional. Oleh karena itu, kelompok sufi tampaknya menjadi kendaraan yang berguna ketika bergerak dalam keadaan translokal. Komunitas adalah salah satu kategori yang paling sering digunakan ketika diaspora Muslim dipelajari, dan kemudian paling sering mengacu pada persekutuan etnis dari organisasi yang kurang lebih formal. Komunitas sufi di diaspora menarik karena mereka cenderung melepaskan diri dari kategori stabil ini.
Domain terakhir, institusi, bisa lebih atau kurang
formal dan oleh karena itu berfungsi mengatur, melestarikan, memodifikasi atau
mendisiplinkan juga dalam kehidupan lokal. Tarekat sufi adalah contoh,
setidaknya idealnya, lembaga yang sangat formal yang cabang-cabangnya dapat
berfungsi sebagai syarat untuk kontak transnasional di sepanjang penghubung
tarekat. Namun, dalam praktiknya, mereka juga menghasilkan jaringan hubungan informal
antara berbagai kelompok pengikut Sufi lainnya, apakah mereka didefinisikan
sebagai pemuda, wanita, atau pebisnis.
Kelompok diaspora selalu rentan. Baik islamofobia
maupun struktur kekuasaan internal dapat membuat individu curiga terhadap studi
akademis. Karena dua bagian dari proyek 'Pengasingan dan Tradisi' didefinisikan
dengan jelas dalam konteks lokal dan bertujuan untuk menganalisis bagaimana
individu berpartisipasi dalam jaringan dan kelompok, penting untuk menekankan
agen sebagai penafsir aktif dan bukan sebagai korban globalisasi,
transnasionalisme dan proses makro lainnya.
Budaya ketiga dalam era kontemporer dapat diartikan sebagai
bentuk untuk aliran budaya, dapat digunakan untuk menidentifikasi ruang sufi
untuk bergerak, menggabungkan dan memobilisasi kelompok sufi. Komunitas sufi
dalam hal informal menawarkan hubungan antara rumah dengan diaspora; di satu
sisi adalah kaitan dengan konsepsi tanah air, otoritas tradisional dan pemujaan
kuil, di sisi lain banyak dari mereka menunjukkan keterbukaan terhadap budaya
global dan mode komunikasi baru.
Daftar
Pustaka
Aksa. (2017). Gerakan Islam Transnasional: Sebuah
Nomenklatur, Sejarah dan Pengaruhnya di Indonesia. Yupa: Historical Studies
Journal, 1(1).
Anjum,
T. (2006). Sufism in History and its Relationship with Power on JSTOR.
Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad.
https://www-jstor-org.ezproxy.ugm.ac.id/stable/20839016?searchText=SUFISM+life&searchUri=%2Faction%2FdoBasicSearch%3FQuery%3DSUFISM%2Blife&ab_segments=0%2Fbasic_search_gsv2%2Fcontrol&refreqid=fastly-default%3A7871bbc2276628520d1a79dc12326796#metadata_info
Anwar,
S. (2017). PENDEKATAN DALAM PENGKAJIAN ISLAM: Kontribusi Charles J.Adam
Terhadap Kegelisahan Akademik. An-Nas, 1(2), 103–103.
https://doi.org/10.36840/AN-NAS.V1I2.51
HS, M.
(2014). Islam, Budaya Indonesia, dan Posisi Kajian Islam di Perguruan Tinggi
Islam. KHAZANAH, XII(1).
Huda, S.
(2017). Karakter Historis Sufisme pada Masa Klasik, Modern, dan Kontemporer. Teosofi:
Jurnal Tasawuf Dan Pemikiran Islam, 7(1), 64–95.
https://doi.org/10.15642/TEOSOFI.2017.7.1.64-95
Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan T. R.
I. (2016). Diaspora. Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik Indonesia.
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/diaspora
Malik,
J., & Hinnels, J. (2015). Sufi-Sufi Diaspora: Fenomena Sufisme di
Negara-Negara Barat. Mizan.
Gabung dalam percakapan