Pelarangan Buku Di Era Reformasi


Pelarangan Buku Di Era Reformasi
oleh : Miftahul Rahma



PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Pelarangan buku di Indonesia bukanlah hal yang umum bagi pengarang atau penerbit yang ada di Indonesia. Banyak sekali kasus-kasus pelarangan buku yang terjadi di Indonesia, misalnya pada kasus tahun 2009, pelarangan terhadap buku terjadi di Indonesia. Ada 5 pengarang dengan judul yang berbeda-beda dilarang untuk menerbitkan buku oleh Kejaksaan Agung (Kejakgung) itu adalah:[1]
1.      Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Rosa.
2.      Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman.
3.      Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan.
4.      Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan.
5.      Mengungkap Misteri Keberagman Agama karya Syahrudin Ahmad.
Alasan mengapa buku ini dilarang oleh Kejaksaan Agung, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila.
Pelarangan buku adalah bentuk paradoks di negera demokrasi karena dengan adanya pelarangan ini penulis tidak dapat menyampaikan aspirasi yang ada di dalam pikirannya. Dengan adanya pelarangan buku ini, bukan hanya berdampak pada penulis dan penerbit saja, melainkan juga berdampak pada media-media yang ada di Indonesia yang beberapa tahun terkahir telah memberikan dukungan terhadap kebebasan pers.
Tidak ada yang lebih menyedihkan dari pada bertentangan  dalam kebebasan untuk berpikir. Situasi seperti ini adakalanya benar di dalam petinggi negara, namun di dalam konteks yang berbeda hal tersebut bertentangan dengan fakta-fakta yang ada.
  1. Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan pelarangan buku?
2.      Bagaimana peraturan pelarangan buku di Indonesia?
3.      Bagaimana kebijakan pemerintah dalam mencegah pelarangan buku di era reformasi?
  1. Tujuan Penulisan
1.    Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan pelarangan buku.
2.    Untuk mengetahui bagaimana pelarangan buku di Indonesia.
3.    Untuk mengetahui kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam mencegah pelarangan buku di era reformasi.



PEMBAHASAN

  1. Pengertian Pelarangan Buku
Pelarangan buku terjadi setelah buku tersebut diterbitkan atau sudah beredar di masyarakat sehingga perlu upaya penarikan kembali dari peredaran apabila ternyata isi buku bertentangan dengan peraturan resmi. Pelarangan buku adalah antitesa bagi kemerdekaan hak politik warga negara yang telah dirasakan bangsa Indonesia sejak era kolonial hingga era reformasi.[2]
Kebijakan pelarangan ini ialah suatu tindakan kesewenang-wenangan yang dilakukan pemerintah dalam membatasi kebebasan berpikir ataupun berpendapat pada era reformasi yang dilakukan oleh penulis ataupun masyarakat. Pemikiran yang dilakukan oleh penulis maupun masyarakat pada dasarnya berbentuk sebuah buku yang mempunyai peranan sebagai penyampai informasi dan pengetahuan terhadap masyarakat-masyarakat yang dianggap bertentangan dengan aturan negara. Informasi dan pengetahuan terhadap masyarakat tersebut disampaikan lewat media-media diantaranya, ialah pemikiran para penulis yang telah diterbitkan dalam sebuah buku.
Buku yang juga merupakan manifestasi tujuan nasional dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa yang tertuang pada amanat pembukaan UUD 1945 dengan represif di berangus oleh rezim penguasa melalui aparat-aparat negara.[3] Sebenarnya sebuah buku merupakan simbol-simbol politik sosial atau hal-hal lainnya yang berkaitan dengan warga negara yang dilindungi serta diamanatkan dalam konstitusi. Pernyataan tersebut berlandaskan atas Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28, yang berbunyi “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”. Maka dari itu, telah adanya jaminan terhadap kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat yang dilakukan oleh warga negara telah diatur dan dijamin oleh negara.

  1. Peraturan Pelarangan Buku di Indonesia
            Sejak Indonesia dijajah oleh Belanda sampai era reformasi, peraturan tentang penyensoran dan pelarangan buku telah ada. Diantaranya sebagai berikut: [4]
1.      Pasal 153 bis, Pasal 153 ter, dan Pasal 161 bis dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
“Bagi siapa dengan sengaja mengucapkan kata-kata secara lisan, tulisan atau bergambar menganjurkan gangguan atas ketertiban umum, penggulingan atau penyerangan kekuasaan pemerintah yang sah di Nederland (Nederlandsch Indie), dijatuhi hukuman penjara setinggi-tingginya 6 tahun dan denda sebesar-besarnya 300 gulden.” Sedang art.153 ter: “bagi mereka yang menyebarkan hal-hal tersebut di atas dijatuhi hukuman maksimal lama 5 tahun dan denda maksimal 300 gulden.”
2.      Peraturan Kepala Staf Angkatan Darat selaku Pengurus Militer Nomor PKM/001/9/1956, yaitu melarang mencetak, menerbitkan, menyatakan akan datangnya, menawarkan, menyiarkan, menempelkan, memperdengarkan, atau memiliki tulisan-tulisan, gambar-gambar, klise-klise, dan lukisan-lukisan yang memuat atau mengandung kecaman-kecaman, persangkaan, penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden.
3.      Staat van Oorlog en Beleg Ordonantie (1939) menyatakan bahwa militer berhak mengadakan peraturan pembatasan perihal mencetak, menerbitkan, mengumumkan, menyampaikan, menyiarkan, menempelkan, memperdagangkan, atau memiliki tulisan-tulisan, gambar-gambar, klise-klise, dan lukisan-lukisan atau melarang sama sekali antara satu dan lainnya. Kuasa militer berhak juga untuk menutup percetakan-percetakan (Pasal 11 ayat 1 dan 2).
4.      UU Nomor 74 Tahun 1957 tentang Pencabutan Regeling op de Staat Van Oorlog en Beleg dan Penetapan Keadaan Bahaya menyatakan bahwa penguasa keadaan perang berhak melarang untuk sementara waktu pertunjukan film-film dan sandiwara-sandiwara, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyabaran, perdagangan, serta penempelan tulisan-tulisan berupa apa pun juga, lukisan-lukisan, klise-klise, dan gambar-gambar (Pasal 33).
5.      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Perpu/1959 Pasal 40 ayat 1 dan 2: penguasa perang berhak melarang pertunjukan-pertunjukan, pencetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyebaran, perdagangan, dan penempelan tulisan-tulisan berupa apa pun juga, lukisan-lukisan, klise-klise, dan gambar-gambar serta berhak menutup percetakan.
6.      Peraturan Pengurus Perang Tertingggi (Peperti) Nomor 3 Tahun 1960 melarang penerbitan surat kabar dan majalah yang tidak berbahasa Latin, Arab atau daerah.
7.      Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap barang-barang Cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum dalam rangka kampanye menentang imprealisme di bidang kebudayaan.
8.      Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada Desember 1965.
9.      UU Nomor 5 Tahun 1969 menyatakan mengadopsi Penetapan Presiden Nomor 4 Tahun 1963 menjadi undang-undang sehingga menjadi UU Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pelarangan Buku.
10.  Surat Kopkamtib
11.  Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-029/JA/6/1979 melarang peredaran barang cetakan dengan bahasa dan aksara Cina Mandarin atau dialeg lainnya.
12.  UU Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang memberikan kewenangan penuh pada Kejaksaan Agung untuk mengamankan peredaran barang cetakan.
13.  UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia mengubah wewenang Kejaksaan Agung atas peredaran barang cetakan dari pengamanan menjadi pengawasan.

      Sejarah mencatat pada awal terbentuknya orde baru, pelarangan sejumlah buku dilakukan secara membabi buta terutama setelah peristiwa G-30 S, Tiga bulan setelah peristiwa pelabuh tersebut pada 30 November 1965 pembantu menteri pendidikan dasar dan kebudayaan bidang teknis pendidikan, Kol.(Inf) Drs K.Setiadi Karto Hadikusumo, melarang 70 judul buku untuk diterbitkan.[5]
      Pelarangan 70 judul buku yang dilakukan pada 30 November 1965 ini diikuti dengan pelarangan terhadap karya-karya yang dilakukan 87 penulis yang dituduh berbeda aliran dengan mereka. Pelarangan buku pada saat itu hingga masa sekarang bukan hanya berdasarkan karena isinya semata, akan tetapi lebih cenderung terhadap alasan-alasan politis yang ditujukan penulis kepada para petinggi negara.

C.     Pelarangan Buku Era Reformasi
            Kebijakan pelarangan buku dalam orde baru di berikan instruksi langsung oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Nomor 1381/1965 yang ditandatangani oleh pembantu menteri bidang teknis pendidikan, Kol.(Inf) Drs K.Setiadi Karto Hadikusumo. Konsiderans menyebutkan untuk mengadakan tindak lanjutan dalam meruntuhkan gerakan yang memberi nama dirinya Gerakan 30 September khususnya dalam bidang mental ideologi, dianggap perlu melakukan pelarangan buku-buku pelajaran kebudayaan dan perpustakaan yang diterbitkan atau ditulis oleh orang-orang atau anggota, ormas yang dibekukan untuk sementara waktu kegiatan yang dilakukannya. Berkat instruksi ini menurut jaringan budaya dalam waktu yang singkat ankga buku yang dilarang terus bertambah seiring waktu sehingga dapat diperkirakan mencapai lebih dari 2000 judul buku. Pelarangan buku ini merupakan pelarangan massal terbesar yang pernah terjadi dalam sejarah buku di Indonesia.
            Gerakan masa akhirnya dapat meruntuhkan rezim orde baru pada tahun 1998. Kemudian pada zaman inilah disebutnya sebagai era reformasi, pada era ini banyak pihak yang mengharapkan adanya perubahan yang lebih demokratis dalam setiap bidang yang ada di Indonesia.[6]
            Meskipun zaman telah berganti menjadi era reformasi akan tetapi keberlangsungan pelarangan terhadap buku yang dilakukan oleh institusi negara tidak akan perrnah hilang. Hal ini dikarenakan pemerintah selalu mempunyai alasan-alasan untuk melakukan tindakan pelarangan buku yang dianggap dapat menganggu ketertiban pemerintah. Tercatat di penghujung tahun 2009 terjadi pelarangan 5 judul buku di Indonesia. Kelima judul buku dengan pengarang yang berbeda ini ialah sebagai berikut:[7]
1.      Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Rosa.
2.      Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman.
3.      Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan.
4.      Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan.
5.      Mengungkap Misteri Keberagman Agama karya Syahrudin Ahmad.
            Salah satu alasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam pelarangan buku di era reformasi ialah sebagai berikut:
Kasus pelarangan yang berujung pada pembakaran buku diawali dari pengaduan yang dilakukan oleh Yusuf Hasyim, bahwa di Jawa Timur ditemukan buku pelajaran sejarah untuk siswa SMP dan SMA yang tidak mencantumkan keterlibatan partai komunis Indonesia dalam peristiwa madium 1948 dan pembunuhan petinggi TNI AD tahun 1965.[8] Berdasarkan dari laporan yang diterima oleh Dewan Perwakilah Rakyat yang kemudian melakukan panggilan kepada Mendiknas Bambang Sudibyo dan melakukan rapat koordinasi.
            Pelarangan buku banyak terjadi dengan berbagai alasan demi menjaga stabilitas nasional atau ketertiban umum bahkan untuk meluruskan terjemahan sejarah yang keliru sehingga membuat lembaga yang bersangkutan bisa sewenang-wenang dalam melakukan pelarangan berpikir ataupun kebebasan dalam menentukan pendapat.

BAB III
Kesimpulan:

1.      Pelarangan buku adalah sebuah kebijakan pemerintah yang dikeluarkan sebelum buku tersebut diederkan kepada khalayak. Pemerintah mempunyai alasan untuk membuat peraturan ini demi untuk melakukan kontrol terhadap buku cetakan atau bacaan yang sudah beredar dimasyarakat umum.

2.      Sejarah mencatat pada awal terbentuknya orde baru, pelarangan sejumlah buku dilakukan secara membabi buta terutama setelah peristiwa G-30 S, Tiga bulan setelah peristiwa pelabuh tersebut pada 30 November 1965 pembantu menteri pendidikan dasar dan kebudayaan bidang teknis pendidikan, Kol.(Inf) Drs K.Setiadi Karto Hadikusumo, melarang 70 judul buku untuk diterbitkan. Pelarangan 70 judul buku yang dilakukan pada 30 November 1965 ini diikuti dengan pelarangan terhadap karya-karya yang dilakukan 87 penulis yang dituduh berbeda aliran dengan mereka. Pelarangan buku pada saat itu hingga masa sekarang bukan hanya berdasarkan karena isinya semata, akan tetapi lebih cenderung terhadap alasan-alasan politis yang ditujukan penulis kepada para petinggi negara.

3.      Kebijakan pelarangan buku dalam orde baru di berikan instruksi langsung oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Nomor 1381/1965 yang ditandatangani oleh pembantu menteri bidang teknis pendidikan, Kol.(Inf) Drs K.Setiadi Karto Hadikusumo. Konsiderans menyebutkan untuk mengadakan tindak lanjutan dalam meruntuhkan gerakan yang memberi nama dirinya Gerakan 30 September khususnya dalam bidang mental ideologi, dianggap perlu melakukan pelarangan buku-buku pelajaran kebudayaan dan perpustakaan yang diterbitkan atau ditulis oleh orang-orang atau anggota, ormas yang dibekukan untuk sementara waktu kegiatan yang dilakukannya


Daftar Pustaka


Adrian Sutedi, 2013. Hak atas kekayaan intelektual, Jakarta: Sinar Grafika.

Basilius Triharyanto, 2009, Pers Perlawanan: Politik Wacana Anti Kolonialisme Pertja Selatan, Yogyakarta: LKiS.

Efendi Ari Wibowo, “Implementasi kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia Studi Atas pelarangan Buku Lekra Tak Membkar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965”.  Diakses dari https://scholar.google.com/sekolah?oe=utf-8&ctzm=asia/Jakarta&ctf=1&v=8.1.12.21.arm  tanggal 11 Mei 2018 .

Iwan Awaluddin Yusuf, dkk, 2014. Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi, Yogyakarta: PR2Media.

Sri Rumani, 2014.  Aspek Hukum dan Bisnis Informasi, Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.



[1] Iwan Awaluddin Yusuf dkk, “Pelarangan Buku Di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebsan Berekspresi,” (September 2010) h.28.
[2] Efendi Ari Wibowo, “Implementasi kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia Studi Atas pelarangan Buku Lekra Tak Membkar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965”.  Diakses dari https://scholar.google.com/sekolah?oe=utf-8&ctzm=asia/Jakarta&ctf=1&v=8.1.12.21.arm  tanggal 11 Mei 2018.
[3] Ibid, hlm. 2.
[4] Basilius Triharyanto, Pers Perlawanan: Politik Wacana Anti Kolonialisme Pertja Selatan (Yogyakarta: LKiS, 2009), h.152.

[5] Efendi Ari Wibowo, “Implementasi kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia Studi Atas pelarangan Buku Lekra Tak Membkar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965”.  Diakses dari https://scholar.google.com/sekolah?oe=utf-8&ctzm=asia/Jakarta&ctf=1&v=8.1.12.21.arm  tanggal 11 Mei 2018 .

[6] Adrian Sutedi, Hak atas kekayaan intelektual (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 193.
[7] Iwan Awaluddin Yusuf dkk, “Pelarangan Buku Di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebsan Berekspresi,” (September 2010) h.28.
[8] Efendi Ari Wibowo, “Implementasi kebijakan Pelarangan Buku Era Reformasi di Indonesia Studi Atas pelarangan Buku Lekra Tak Membkar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965”.  Diakses dari https://scholar.google.com/sekolah?oe=utf-8&ctzm=asia/Jakarta&ctf=1&v=8.1.12.21.arm  tanggal 11 Mei 2018 .

  

Posting Komentar untuk "Pelarangan Buku Di Era Reformasi"