PELANGGARAN HAK CIPTA DI PERPUSTAKAAN PERGURUAN TINGGI
Oleh :
Yogi
Angga Prawira
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Indonesia telah masuk sebagai anggota
Berne Convention For The Protection of Literary & Artistic Work yang telah
diratifikasikan melalui Keppres nomor 18 tahun 1997 dimana konvensi tersebut
menghasilkan WIPO Copyright Treaty yang juga telah diratifikasikan dalam
Keppres nomor 19 tahun 1997. Anggota konvensi dan perjanjian ini akan mendapat
perlindungan hasil ciptaan secara internasional.[1]
Perpustakaan menurut UU No.43 Tahun 2007,
Pasal 1 ayat 1, adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak,
dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi
kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi bagi
pemustaka.[2]
Menurut Sulistiyo Basuk perpustakaan
adalah gedung atau ruang yang berisi rak buku, dan mengalami perubahan definisi
karena dipengaruhi oleh komponen koleksi dan perkembangan teknologi.[3] Perpustakaan
perguruan tinggi merupakan terjemahan dari academic
library yang didefinisikan Dictionary of Information and Library Management
sebagai perpustakaan yang melayani komunitas akademis seperti perpustakaan
universitas atau perpustakaan perguruan tinggi.[4]
Perpustakaan perguruan tinggi harus mampu mampu menjung tridarma perguruan
tinggi dalam menjalankan pungsinya, oleh sebab itu perpustakan harus mampu
memenuhi kebutuhan pemustakanya.
Koleksi yang ada di perpustakaan, terutama
buku merupakan yang merupakan koleksi utama perpustakaan merupakan hasil dari
karya cipta. Untuk melindungi karya cipta itulah diperlukan perangkat hukum
berupa Undang-undang yang melindungi tentak hak cipta tersebut. Undang-undang
hak cipta ini bertujuan untuk melindungi hasil karya ciptaan dari upaya
eksploitasi terhadap suatu karya dari seseorang atau pihak lain yang tidak
punya hak atas karya cipta tersebut. Keberadaan undang-undang hak cipta juga
bertujuaan untuk menghindari atau melindungi karya cipta dari upaya
perbanyakan/pengadaan dari pihak yang tidak bertanggung jawab, dan bertujuan
untuk merangsang masyarakat untuk menciptakan suatu karya baru diberbagai
bidang, baik seni, buku, sastra, dan lain sebagainya.
Namun dalam praktek sehari-hari, penerapan
UU Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta seringkali pemustaka atau bahkan
pengelola perpustakaan (Pustakawan/staf) melakukan penggandaan atau perbanyakan
dengan cara memfotokopi seluruh bahan, misalnya memfotokopi satu buku utuh,
atau juga mengkopi dari bahan-bahan nonbuku yang ada di perpustakaan. Selain
memudahkan pemustakan untuk menghemat biaya untuk membeli buku baru. sebenarnya
kegiatan mengkopi ini merupakan salah satu upayah untuk melestarikan koleksi
bahan pustaka khusunya bagi buku-buku yang jumlah eksemplarnya sedikit atau
buku-buku yang tidak dipinjamkan seperti buku tandon, ensiklopedi dan lain
sebagainya. Namun kegiatan mengkopi tersebut bertentanggan dengan UU tentang
Hak Cipta.
Dari pembahasan diatas maka timbul
pertanyaan apakah kegiatan yang dilakukan oleh pemustakaan dan pera staf
perpustakaan dalam memperbanyak (mengkopi) bahan pustakaa tersebut bertentangan
dengan penerapan UU tentang hak cipta ataukah kegiatan tersebut justru
diperbolehkan hanya khusus bagi perpustakaan dalam upaya melestarian bahan
pustaka miliknya.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang permasalahan diatas
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah
kegiatan memperbanyak koleksi perpustakaan bertentanggan dengan Undang-undang Hak
cipta ?
2. Apakah
kegiatan memperbanyak koleksi perpustakaan untuk pelestarian koleksi bahan
pustaka (buku) diperbolehkan ?
3. Bagaimana
peran UU Nomor. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta diperpustakaan?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan artikel ini berdasarkan rumusan
maslah ialah untuk mengetahui beberapa hal terkait :
1. Untuk
mengetahui apakah kegiatan memperbanyak koleksi perpustakaan bertentanggan
dengan Undang-undang Hak cipta.
2. Untuk
Mengetahui apakah kegiatan memperbanyak koleksi perpustakaan untuk pelestarian
koleksi bahan pustaka (buku) diperbolehkan.
3. Untuk
mengetahui peran UU Nomor. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta diperpustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hak
Cipta
Pengertian Hak Cipta menurut UU Hak Cipta
Nomor 19 Tahun 2002 adalah sebagai berikut: “Hak Cipta adalah hak eksklusif
bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya
atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan- pembatasan
menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku.”(UU Hak Cipta Nomor 19
Tahun 2002).[5]
Hak cipta (copyright) sebagai subsintem dari HAKI secara internasional disebut
dengan Intellectual property right
(IPR). Awalnya, istilah yang digunakan bukan hak cipta, melainkan hak pengarang
( author right) yang mengacuh pada
undang-undang hak pengarang. Hak cipta dimaksudakan untu mencegah/ melindungi
ciptaan dari tindakan penjiplakan atau plagiat ( dari bahasa latin, plagiarus artinya penculik), dalam
bahasa Belanda latter dieverij
artinya pencuri tulisan/ciptaan atau pencurian hak pengarang.[6]
Dari beberapa pengertian tentang hak cipta
di atas merujuk pada arti pentingnya UU hak cipta sebagai pelindung sebuah
karya dari tindakan penjiblakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Oleh sebab itu kita perlu mengetahui ciptaan apa saja yang mendapat
perlindungan berdasarkan hak cipta selanjuatnya akan kita bahas.
B.
Ciptaan
yang dilindungi Hak Cipta
Ciptaan yang dilindungi dalam dalam
bidang ilmu pengetahuan, kesenian dan kesusastraan meliputi:
a. Buku,
program komputer, pamflet, susunan perwajahan
karya tulis yang diterbitkan, dan semua karya tulis lainya.
b. Ceramah,
kuliah, pidato, dan ciptaan lainya yang diwujudkan dangan cara diucapkan.
c. Alat
peraga untuk kepentingan pengetahuan
d. Ciptaan
lagu, musik dengan/tanpa teks, termasuk kerawitan dan rekaman suara
e. Drama,
tari, perwayangan, pantomim, dan keografi
f.
Karya pertunjukan
g. Karya
siaran
h. Seni
rupa seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pajat, seni
patung, dan yang berupa seni kerajinan tangan
i.
Arsitektur, peta, seni
batik, fotografi, dan sinematografi
j.
Terjemahan, tafsir,
saduran, bunga rampai, dan karya lainnya dari hasil pengalihwujudan.[7]
Karya-karya diatas merupakan karya
yang dilindungi berdasarkan Undang-undang hak cipta. Oleh karna itu jika kita
ingin menggunakan atau membutuhkan hak tersebut dengan memperbanyaknya atau
menduplikatkan maka hal tersebut harus berdasarkan izin pemilik atau pencipta
atau yangmenegang hak cipta dari sebuah karya tersebut,
Kembali kepermasalahan pelanggaran
hak cipta di perpustakaan maka kita harus mengetahui hal apa saja yang menjadi kegiatan
atau memicuh terjadinya pelanggaran hak cipta dan dalam kegiatan apa saja
seperti fotokopi dan lain sebagainya apakah diperbolehkan dalam ruang lingkup
perpustakaan dalam menunjang pendidikan.
C.
Hak
Cipta dan Koleksi
Perpustakaan Menurut UU No 43 tahun 2007
koleksi perpustakaan adalah “semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya
cetak, dan/atau karya rekam dalam berbagai media yang mempunyai nilai
pendidikan, yang dihimpun, diolah dan dilayankan”. International Encyclopedia
of Information and Library Science (2003:371) secara singkat mendefinisikan
koleksi pepustakaan sebagai koleksi bahan-bahan yang ditata dengan cara
tertentu untuk dimanfaatkan.[8]
Koleksi perpustakaan terbagi dua yakni
koleksi cetak dan non cetak sedangkan yang akan kita bahas di sini ialah
koleksi cetak. Koleksi bahan tercetak meliputi buku, majalah/jurnal, koran,
tesis disertasi dan bahan-bahan referensi yang meliputi kamus, majalah indeks
dan abstrak, dan buku tahunan dan lain sebagainya.
Bahan-bahan yang dikoleksi yang dimilikik
oleh perpustakaan merupakan karya yang dilindungi oleh hukum khususnya hukum
Hak Cipta. Maksudnya ialah karya atau ciptaan akan mendapatkan perlindungan
hukum. hal ini bertujuan untuk mencegah pihak lain diluar pemegang hak cipta
atas karya tersebut mengambil keuntungan dari sebuah karya yang bukan hak
miliknya. Disamping itu, perlindungan juga dimaksudkan untuk memotivasi
masyarakat agar mau berkarya dalam bidang apa saja, baik karya tulis, seni,
sastra maupun dalam inovasi teknologi. Dengan begitu maka akan hadir
karya-karya baru yang memeng lahir atas keretivitas sendiri bukan mengambil hak
karya orang lain yang dapat merugikan orang tersebut.
D.
Pembatasan
dan Pengecualian Hak Cipta di Perpustakaan.
Hak Cipta mengenal adanya pembatasan dan
pengecualian sebagaimana tertuang dalam pasal 14-18. Terkait dengan
perpustakaan, pasal 15 menyatakan: dengan syarat bahwa sumbernya disebutkan
atau dicantumkan, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta: Selanjutnya
dalam butir e disebutkan “Perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer,
secara terbatas dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh
perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau pendidikan dan pusat
dokumentasi yang non komersial, semata-mata untuk keperluan aktivitasnya”.[9]
Pembahasan diatas memberkan rmakna bahwa
dengan syarat sumbernya disebutkan atau dicantumkan tidak dianggap sebagai
pelanggaran terhadap Hak Cipta. Misalnya saja ketika kita mengutip karya
seseorang dalam ka buat maka kita wajib mencantumkan sumber kutipan kita
tersebut, dan kegiatan perbanyakan yang dilakukan oleh perpustakaan, yang
semata-mata untuk keperluan aktivitasnya. Misalnya untuk kegiatan pelestarian
bahan pustaka atau buku-buku yang langkah atau tua maka kegiatan memperbanyak
diperbolehkan.
Pembagian pembatasan pengecualian hak
mengenai hak cipta diperpustakaan belumlah terter sejalah jelas namun ada
pendapat yang dikemukaan oleh IFLA yang akan dibahas dibawah.
IFLA Committee on Copyright and Other Legal
Matter (2008) mengeluarkan kebijakan tentang pembatasan dan pengecualian
terhadap Hak Cipta guna memenuhi misinya untuk melayani publik. Pembatasan dan
pengecualian tersebut diantaranya:
1. Pendidikan
(education) Perbanyakan boleh dilakukan oleh perpustakaan dan lembaga
pendidikan untuk keperluan pengajaran di kelas ataupun untuk pendidikan jarak
jauh asalkan tidak mengurangi hak-hak yang dimiliki oleh pencipta atau pemegang
Hak Cipta.
2. Keperluan
penelitian pribadi (research or private purposes) Menyalin karya yang ada Hak
Cipta dibolehkan karena keperluan pribadi.
3. Karya
anak yatim (orphan works) Sebuah pengecualian diperlukan untuk menyelesaikan
permasalahan terkait dengan karya anak-anak yatim yang tidak diketahui siapa
pemiliknya dan dimana pemiliknya berada.[10]
4. Keperluan
pinjam antarperpustakaan (interlibrary document supply) Perpustakaan dibolehkan
untuk berbagi sumber dengan perpustakaan lainnya sebab tidak mungkin sebuah
perpustakaan mampu mengoleksi seluruh subyek yang dibutuhkan oleh pemustakanya.
5. Ketentuan
untuk orang cacat (provision for person with disabilities) Sebuah perpustakaan
seharusnya dibolehkan untuk mengubah bahan
perpustakaan dalam bentuk atau format lain untuk kepentingan orang
cacat.
6. Tindakan
perlindungan teknologi yang menjaga penggunaan secara sah (TPMs/ Technological
protection measures that prevent lawful uses)
7. Kontrak
versus pengecualian perundangan (Contracts v statutory exceptions) Kontrak
seharusnya tidak diperbolehkan untuk menghilangkan pengecualian dan pembatasan.
8. Jangka
waktu perlindungan Hak Cipta (copyright term). Masa berlaku Hak Cipta adalah 50
tahun setelah kematian penciptanya sesuai dengan Konvensi Berne, dan tidak bisa
ditambah lagi.[11]
Dari beberapa bulir penyataan yang
dikeluarkan oleh IFLA nampaknya belum memberikan pedoman menyeluruh terhadap
pembatasan dan pengecualian Hak Cipta yang ada di perpustakaan. Oleh karena
itu, untuk pembatasan ini masih belum tergambar dengan jelas.
Namun sebagai warga negara yang sadar akan
keberlakuan hukum di negara Indonesia yang merupakan negara hukum maka sudah
sewajarnya kita sebagai warga negara harus patuh, meski pun tidak dijelaskan
mengenai batasan hak cipta di perpustakaan kita harus tetap memingkiti
pengecualian-pengacualian yang berlaku seperti dalam pembahasan sebalumnya yang
telah lebih dulu dibahas di atas.
E.
Pelanggaran
Hak Cipta
Pelanggaran hak cipta dapat berupa perbuatan memperbanyak, mengumumkan, mengambil, mengutip, atau merekam ciptaan yang lain sebagian atau seluruhnya tanpa izin pencipta. Pelanggaran hak cipta seiring dengan perkembangan teknologi tidak hanya karya tulis/cetak, tetapi karya rekam audio, video, dan software.
Tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta meliputi kegiatan sebagai berikut.
- Diperbolehkan menfotokopi bab tertentu untuk kepentingan pendidikan, tanpa perlu minta izin pada pencipta, tetapi ternyata fotokopi itu diperjual belikan (dikomersilkan dengan mendapat keuntungan).
- Mengutip ciptaan orang lain tanpa menyebut sumber asli (plagiat) dan diakui sebagai hasil karya ciptaan sendiri.
- Mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana yang asli, tanpa menubah bentuk, isi, dan pencipta/penerbit/perekam.
- Melampaui jumlah eksemplar penerbitan yang disepakati dalam perjanjian. Misalnya, disepakati 3.000 eksemplar, tetapi diterbitkan5.000 eksemplar.[12]
Adapun definisi lain yang menyatakan tentang pelanggaran hak cipta dan sangkinya. Di dalam pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta dijelaskanjenis-jenis pelanggaran hak cipta antara lain:
1) Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan, atau membuat, memperbanyak atau menyiarkan rekaman suara dan atau gambar pertunjukkan atau memperbanyak dan atau menyewakan karya rekaman suara dan rekaman bunyi.
2) Dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atauhakterkait.
3) Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.
4) Dengan sengaja melakukan pengumuman setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan, serta ketertiban umum.
5) Dengan sengaja memper banyak, mengumumkan potret seseorang tanpa izin orang yang dipotret atau izin ahli warisnya dalam jangka waktu 10 tahun setelah orang yang dipotret meninggal dunia; dan tanpa izin atau melanggar larangan lembaga penyiaran untuk memperbanyak, membuat dan atau menyiarkan ulang siaran yang dilindungi melalui transmini dengan atau tanpa kabel atau melalui sistem elektronik lainnya.
6) Dengan sengaja dan tanpa hak mencantumkan nama pencipta pada ciptaan; atau mengubah isi suatu ciptaan, judul ciptaan dan anak judul ciptaan.
7) Dengan sengaja dan tanpa hak meniadakan atau mengubah informasi elektronik tentang informasi manajemen hak pencipta.
8) Dengan sengaja dan tanpa hak merusak, meniadakan atau membuat tidak berfungsi sarana teknologi sebagai pengaman hak pencipta.
9) Dengan sengaja dan tanpa hak tidak memakai semua peraturan perijinan dan persyaratan produksi yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam penggunaan sarana produksi berteknologi tinggi khususnya dibidang cakram optik.[13]
Tindakan-tindakan di atsa merupakan tindakan yang di kategorikan melanggar hak cipta dan dari tindakan diatas akan dibasa lebuh lanjut dalam pembahasan berikut.
F.
Reprografi
reproduksi faksimile segala bentuk dokumen
dengan proses apa saja yang menggunakan cahaya, panas, atau radiasi listrik,
seperti fotokopi dan cetak biru[14]
“. . . dalam reprografi tercakup pengertian copying, duplicating dan
microcopying” Menurut Sulistyo-Basuki ketiganya memiliki pengertian sebagai
berikut :
a. Copying
merupakan pembuatan kopi atau salinan yang sama besarnya dengan dokumen asli,
dalam bentuk 1 salinan atau lebih.
Proses yang digunakan adalah silver halide, diazo, thermographic dan
electro- photographic.
b. Duplicating
adalah copying dalam jumlah banyak,
misalnya sampai 1000 lembar. Proses yang digunakan adalah spirit duplicating, stenciling
dan offset printing.
c. Microcopying
adalah penggandaan dokumen dalam besaran yang lebih kecil daripada ukuran
dokumen asli. Dalam microcopying
termasuk mikrofilm, mikrofis dan
pembesaran.[15]
Menurut IFRRO (The International
Federation of Reproduction Rights Organisations) ada cakupan lain yang termasuk
dalam aktivitas reprografi, diantaranya adalah percetakan (printing) dan
fotokopi (photocopying) serta reprografi karya dengan cara digital seperti
pemindaian (scanning), downloading atau mengunduh file dari sebuah pangkalan
data, menyalin file digital misalnya di dalam CD / DVD, penyimpanan dan
transfer file dari/ antar/ ke dalam database.[16]
Berdasarkan pengertian di atas bentuk
dari reprografi tidak hanya terbatas pada perbanyakan ciptaan yang memberikan output atau keluaran yang sama misalnya
seperti tercetak ke tercetak (fotokopi), tetapi juga alih media seperti
tercetak ke non cetak ataupun sebaliknya seperti yang telah dijelaskan pada UU
Hak Cipta no. 19 tahun 2002 mengenai penjelasan tentang perbanyakan pada pasal
1.
G.
Alternatif
Solusi (sebuah usulan)
Untuk kasus perpustakaan perguruan tinggi,
ada dua hal utama yang harus dilakukan untuk menegakkan Hak Cipta yaitu adanya pedoman yang jelas, dan
sosialisasi kepada pengelola dan pemustaka.
1. Pedoman
penggandaan/perbanyakan.
Undang-undang
Hak Cipta sudah cukup sempurna mengatur Hak Cipta di Indonesia. Namun demikian
ada bagian yang masih mengambang misalnya berkaitan dengan pasal pembatasan dan
pengecualian Hak Cipta. Dalam pasal 15
butir e menyebut bahwa perbanyakan yang dilakukan lembaga pedidikan
seperti perpustakaan (dalam butir
tersebut menyebut perpustakaan umum)
tidak melanggar Hak Cipta asalkan untuk keperluan aktivitasnya. Istilah
“untuk keperluan aktivitasnya” ini harus ditafsirkan ulang apakah istilah ini
bermakna: bahwa perbanyakan, seberapapun jumlah perbanyakannya, asalkan untuk
keperluan koleksi perpustakaan maka tidak melanggar Hak Cipta atau perbanyakan
dibolehkan karena untuk mengganti bahan yang fisiknya rusak tapi informasi yang
terkandung di dalamnya masih sangat berguna; atau perbanyakan dibolehkan
asalkan perbanyakan tersebut tidak melebihi satu bab dari suatu buku; atau
perbanyakan dibolehkan asalkan mendapat ijin tertulis dari pemegang Hak
Ciptanya; atau ditafsirkan dengan mengacu pada keadaan sosial budaya masyarakat
Indonesia pada umumnya karena alasan penyebaran pengetahuan; atau pasal itu ditafsirkan dengan mengacu
pada pedoman yang pernah dibuat oleh negara lain seperti Amerika Serikat maupun
Inggris.[17]
Dalam
pengecualian ini, belum tergambar jelas batasan-batasan oleh sebab itu harus
ada aturan yang jelas dan sumbangsi dari pihak perpustakaan maupun pnerbit
dalam hal pengadaan ini.
2. Sosialisasi
Hukum Tentang Hak Cipta.
Harus
ada sosialisasi mengenai hukum yang mengatur tentang hak cipta, dan dalam karya
apa saja yang tidak boleh dilanggar dan penegcuali hak cipta di perpustakaan
dengan ketentuan-ketentuan yang harus di ikuti.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan pada artikel ini ialah
dalam Hak Cipta harus ada rumusan pedoman dalam penggaturan hak cipta. Selama ini belum
ada peraturan yang bisa digunakan sebagai pedoman dalam penggandaan atau
perbanyakan bahan-bahan yang ada di perpustakaan. Oleh karenanya, perlu
memperjelas penerapan aturan tentant hak cipta di perpustakaan hal ini,
bertuuan untuk menjaga hak-hak milik orang lain dan tidak merugikan pihak
manapun.
Dari penelitian ini dapat ditarik
kesimpulan bahwa dalam penerapannya belu ada aturan yang jelas mengenai hak
cipta di perpustakaan. Karena tidak disebutkan secara terperinci batasan
pembolehan dan pengecualian hak cipta di perpustakaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adrian
Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual
Jakarta : Sinar Grafika, ( 2013).
Ahmad Muzaki
Nurdin, “Implementasi Undang-Uundang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 Pada Aktivitas Reprografi di Beberapa Perpustakaan
di Semarang”. jurnal ilmu perpustakaan, vol 3, no. 1.( Tahun 2014)
Bahrul Ulumi, Problematika Penegakan Hak Cipta Di
Perpustakaan Perguruan Tinggi (Perspektif
Pustakawan), jurnal VISI PUSTAKA. Volume
11 Nomor 1 (April
2009).
Ibnu
Aditya Saputra, “PemahamanMahasiswa PPKN
Universitas Ahmad Dahlan Tahun Angkatan
2008 tentang Perlindungan Hak Cipta Atas
Buku dalam UUNo.19 Tahun 2002 Pasal12 Ayat (1)”. Jurnal
Citizenship, Vol. 2 No. 1, (Juli 2013).
Sulistiyo
Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakan Jakarta
: Universitas Terbuka, (2011)
Sri
Rumani, Aspek Hukum dan Bisnis Informasi Tangerang Selatan : Universitas
Terbuka, (2014)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007
tentang perpustakaan Jakarta: Perpustakaan Nasional RI2.
[1] Ahmad Muzaki Nurdin, “IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002 PADA
AKTIVITAS REPROGRAFI DI BEBERAPA PERPUSTAKAAN DI SEMARANG”. jurnal ilmu perpustakaan,( vol 3, no. 1.
Tahun 2014), h.1
[2] Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan, (Jakarta : Perpustakaan
Nasional RI), h. 2.
[3] Sulistiyo Basuki, Pengantar
Ilmu Perpustakan (Jakarta : Universitas Terbuka, 2011), h. 17.
[4] Bahrul Ulumi, Problematika
Penegakan Hak Cipta Di Perpustakaan Perguruan Tinggi (Perspektif Pustakawan),
jurnal VISI PUSTAKA. (Volume 11
Nomor 1
April 2009), h. 10.
[5] Ahmad Muzaki
Nurdin, “IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002 PADA
AKTIVITAS REPROGRAFI DI BEBERAPA PERPUSTAKAAN DI SEMARANG”. jurnal ilmu perpustakaan,( vol 3, no. 1.
Tahun 2014), h.
[6] Sri Rumani, Aspek Hukum dan Bisnis Informasi (Tangerang Selatan :
Universitas Terbuka, 2014), h. 2.5
[7] Adrian Sutedi, Hak Atas
Kekayaan Intelektual (Jakarta : Sinar Grafika, 2013), h. 117
[8] Bahrul Ulumi, Problematika
Penegakan Hak Cipta Di Perpustakaan Perguruan Tinggi (Perspektif Pustakawan),
jurnal VISI PUSTAKA. (Volume 11
Nomor 1
April 2009), h. 13.
[9] Ibid., h. 13.
[10] Ibid., h. 14
[11] Ibid., h.14
[12] Sri Rumani, Aspek Hukum dan
Bisnis Informasi (Tangerang Selatan : Universitas Terbuka, 2014), h. 2.18.
[13] Ibnu Aditya Saputra, “PemahamanMahasiswa
PPKN Universitas Ahmad Dahlan Tahun Angkatan 2008 tentang Perlindungan Hak
Cipta Atas Buku dalam UUNo.19 Tahun 2002 Pasal12 Ayat (1)”. Jurnal
Citizenship, (Vol. 2 No. 1, Juli 2013), h. 72.
[14] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
[15] Ahmad Muzaki Nurdin, “IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 19 TAHUN 2002 PADA
AKTIVITAS REPROGRAFI DI BEBERAPA PERPUSTAKAAN DI SEMARANG”. jurnal ilmu perpustakaan,( vol 3, no. 1.
Tahun 2014), h. 2.
[16] Ibid., h.2
[17]Bahrul Ulumi, Problematika
Penegakan Hak Cipta Di Perpustakaan Perguruan Tinggi (Perspektif Pustakawan),
jurnal VISI PUSTAKA. (Volume 11
Nomor 1
April 2009), h. 16
Gabung dalam percakapan