PELANGGARAN HAK CIPTA DI INDONESIA


PELANGGARAN HAK CIPTA DI INDONESIA
Oleh: Lia Rahmadania


Bab I
Pendahuluan
    A.    Latar Belakang
Kemunculan internet sebagai teknologi informasi dan komunikasi (TIK) membawa dampak dahsyat dalam segala aspek kehidupan, seperti gaya hidup bahkan mengubah perilaku masyarakat dalam mengakses informasi. Pemanfaatan TIK telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global.
Saat ini teknologi informasi ibarat pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi pengetahuan serta informasi, peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Tidak bisa dipungkiri setiap sesuatu hal pasti memiliki 2 sisi yaitu sisi positif dan sisi negatif. Tak berbeda dengan internet sebagai salah satu terobosan dalam kemajuan teknologi informasi.
Indonesia sebagai negara hukum memiliki dasar hukum yaitu Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum  yang dijelaskan secara eksplisit dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 3 maka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara penduduk Indonesia dilindungi oleh hukum yang berlaku. Salah dua hukum yang ada di Indonesia adalah hukum tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang termaktub pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016  yang merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 mengatur segala bentuk penyebaran informasi secara elektronik dan transaksi elektronik. Dan hukum tentang Hak Cipta yang termaktub pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 yang mengatur segala bentuk Hak Cipta.
Di era teknologi saat ini, siapapun dapat berkreasi dengan ide briliantnya untuk menghasilkan suatu hasil karya yang dapat dinikmati oleh semua orang. Setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang memenuhi persyaratan keaslian (originality), berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kreatifitas (creativity) dan dalam bentuk yang khas (fixation) dapat didaftarkan kepada negara dan mendapatkan hak cipta. Hak cipta adalah hak eksklusif yang diberikan negara kepada pencipta yang mana negara melindungi hak pencipta berupa hak moral dan hak ekonominya.
Namun dilapangan banyak masyarakat Indonesia yang melakukan perbuatan melawan hukum baik dilakukan melalui jaringan internet maupun secara langsung yaitu melanggar hak kekayaan intelektual khususnya hak cipta. Maka dari itu penulis berminat untuk menulis artikel dengan judul Pelanggaran Hak Cipta di Indonesia.
 
    B.     Rumusan Masalah
1.      Sejarah Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia?
2.      Bagaimana penerapan hukum dalam UU Hak Cipta di Indonesia?
3.      Apa saja bentuk pidana pelanggaran UU Hak Cipta di Indonesia?

   C.     Tujuan
Adapun beberapa tujuan yang ingin dicapai dari makalah ini adalah:
1.      Mengetahui Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia.
2.      Mengetahui penerapan hukum dalam hak cipta di Indonesia.
3.      Mengetahui bentuk pidana pelanggaran hak cipta di Indonesia.



Bab II
Pembahasan
    A.    Sejarah Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia
Istilah atau terminologi “Hak Milik Intelektual” (HAMI) diperguanakan untuk pertama kalinya sekitar tahun 1790. Munculnya istilah hak milik intelektual atau yang dikenal dalam bahasa asing “geiteges eigentum” (Jerman) atau  “intellectual property right” (Inggris), atau “intelectuele propriete” (Perancis) sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang hak milik. Seperti yang dieksplorasi Syafrinaldi, Locke berpendapat bahwa hak milik dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya, sudah ada sejak manusia lahir. Sehingga benda dalam pengertian disini tidak hanya benda yang berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang merupakan hasil dari intelektualitas manusia.[1]
Sejarah HAMI sebenarnya sudah lama berlangsung. Namun pengakuan masyarakat internasional terhadap HAMI dibandingkan dengan hak milik terhadap benda (barang) nyata belum lama. Menurut Syafrinaldi lamanya proses pengakuan tersebut dikarenakan oleh faktor tidak sadarnya masyarakat pada waktu itu tentang sifat yang melekat pada HAMI, dan belum dikenalnya hak milik dalam bentuk lain kecuali benda atau barang.[2]
Pada abad kuno dan pertengahan, hak cipta (hak milik intelektual lainnya adalah paten, merek, industri desain dan lain-lain) belum dikenal oleh masyarakat, sekalipun banyak karya cipta yang telah dihasilkan oleh manusia waktu itu. Mereka beranggapan hak cipta tidak memiliki arti yang strategis seperti rumah, tanah, atau benda lainnya sehingga tidak perlu dilindungi oleh peraturan perundang-undangan. Pada masa pertengahan karya cipta manusia masih dianggap sebagai penjelmaan dari ciptaan Tuham, sehingga kehadirannya dianggap sebagai karya cipta yang tidak bertuan atau anonym. Implikasinya adalah fenomena penguasaan sesuka hati terhadap hak cipta oleh publik semakin meningkat dan melahirkan teori tentang hak milik percetakan (Veriagseigentumsiehre). Hak tersebut lebih dikenal dengan hak keistimewaan atau privileg yaitu hak untuk memperbanyak suatu karya cipta dan menjualnya yang diberikan oleh raja atau penguasa kepada percetakan atau penerbit.[3]
Dari masa privileg ini, muncul teori tentang larangan untuk mencetak ulang suatu buku kecuali memperoleh izin hak privileg. Pemberian privileg pada prinsipnya dimaksudkan untuk memerangi kejahatan pembajakan buku yang bisa dilakukan dengan cara menetak ulang buku dalam jumlah besar dan secara illegal. Tetapi perlindungan huku yang diberikan kepada buku (cetakan) dalam pengertian benda sedangkan yang dilindungi sekarang adalah subtansi buku yang merupakan hasil dari karya intelektual manusia. Pada masa pertengan ini teori privileg berkembang pesar di negara-negara Eropa, seperti Jerman, Inggris dan Perancis.[4]
Pemakaian istilah HAMI dewasa ini sangat dipengaruhi oleh jurisprudensi di Eropa, seperti di Inggris dan Perancis serta Jerman. Kemantapan untuk menggunakan istilah HAMI didukung oleh pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang informasi dan komunikasi seperti multimedia. Demikian juga di Indonesia sejarah hukum tentang perlindungan HAMI tidak bisa dilepaskan dengan sejarah hukum serupa di Belanda pada masa itu. Karena dengan asas konkordansi semua peraturan yang berlaku bisa dilihat bahwa ketentuan HAMI masih jauh dari yang diharapkan menurut standar Internasional, baik dilihat dari rumusan hukum positifnya, apalagi dari segi pelaksanaan hukum tersebut dalam menghadapi kasus-kasus yang berkenaan dengan pelanggaran HAMI.[5]
Pada tahun 1958, Perdana Menteri Ir. R. Djoenda Kartawidjaja menyatakan Indonesia keluar dari konvensi Bern, ini dilakukan supaya para intelektual Indonesia bisa memanfaatkan hasil karya bangsa asing tanpa harus membayar royalti. Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun 1912 dan menetapkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang merupakan Undang-undang hak cipta pertama di Indonesia. Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan Undang-undang nomor 7 tahun 1987,.
Pemerintah terus berupaya ke arah yang lebih baik dalam penegakan perlindungan hukun HAMI. Oleh karena itu perlu pengkajian yang mendalam dalam rangka penataan kembali Perundang-undangan di bidang HAMI maupun dalam bidang Law Enforcement.  Hal itu sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organisation (WTO) dan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang disetujui di Marakesh Maroko pada 15 April 1994. Perjanjian TRIPs tersebut diratifikasi oleh pemerintah dengan UU No. 7/1994. Lembaran negara No. 57/1994 dan tambahan Lembaran Negara No. 3564.[6]
Pada tahun 1997, Pemerintah kembali meratifikasi konvensi Bern melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 1997 dan keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997. Selanjutnya, Pemerintah meratifikasi kembali melalui Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 yang sekarang sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum  dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang yang baru. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 menjadi Perundang-undangan Hak Cipta terbaru di Indonesia.

    B.     Penerapan Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia
           Negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechsstaat) dan bukan berdasar atas kekuasaan (machtsstaat) belaka. Pernyataan ini termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat 3 yang mana  mengandung arti bahwa hukum di negara Indonesia mempunyai peranan yang sangat penting sebagai pengatur, pedoman, dan pengayom dalam kehidupan sehari-hari di keluarga, masyarakat, serta kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tidak dapat dibayangkan jika kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa adanya hukum yang menjadi pedoman, pengatur dan pengayom. Tentu akan terjadi kekacauan, orang bisa berbuat seenaknya, tanpa ada pedoman yang mengatur dan membatasi kehidupan dan perbuatan. Berlaku hukum rimba, siapa yang kuat (kekuasaan, kekayaan, dan ilmu), dialah yang menang dan si lemah akan selalu kalah karena tiada daya dan upaya yang dimiliki. Jadi, hukum itu sebenarnya untuk menertibkan, mengayomi dan melindunggi hak-hak seseorang serta memberikan sanksi bagi siapa yang tidak melakasanakan kewajibannya.[7]
Sesuai dengan penjelasan UUD 1945, Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum maka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara penduduk indonesia di lindungi oleh hukum yang berlaku. Karena itu, penduduk Indonesia dapat merasakan kedamaian dalam hidup bermasyarakat  dan diayomi oleh pemerintah yang berkuasa.[8] Salah satu hukum yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Hak Cipta
Tujuan Negara Indonesia termaktub dalam alenia ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia  (UUD RI ) 1945 yang menetapkan: “...Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umumm mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”, yang dituangkan lebih lanjut dalam pasal-pasal UUD 1945.[9]
Salah satu aspek yang digunakan untuk menggambarkan kesejahteraan suatu bangsa adalah keberhasilan pembangunan ekonomi. Hal ini secara konstitusional diatur dalam Pasal 33 UUD RI 1945 yang menentukan bahwa Perekonomian Indonesia yang dikehendaki berasaskan kekeluargaan yang ditujukan untuk kemakmuran atau kesejahteraan rakyat banyak. Asas kekeluargaan dalam hal ini bukan berarti Indonesia ‘anti’ persaingan sehat (fair competition). Peranan pemerintah dalam menjalankan pembangunan ekonomi adalah menekankan ke arah pengawasan arah keiatan ekonomi dan buka pada penguasaan sebanyak mungkin dari kegiatan ekonomi. Pengawasan dan bukan penguasaan dalam arti penataan aturan (prescribing rule) buka pengaturan (regulating) agar tercipta suatu harmoni (preserving harmony) dalam aktivitas bisnis.[10]
Peranan pemerintah dalam penataan aturan kegiatan ekonomi dapat dicapai dengan Sistem Ekonomi Pasar (market economic system) yang berciri:
·         Bermotifkan laba (profit motive)
Berkarakter kompetisi (competitive in characters) berkaitan dengan kewirausahaan (deal with entrepreneurship)
·         Berorientasi pasar (market oriented)
Bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan konsumen berdasarkan hukum kemudahan untuk masuk dan keluar pasar (to cope with customer’s need under the law of ease to entry and ease of exit)
·         Berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak (based on the principle of freedom of contract).
Dalam rangka sistem ekonomi pasar sebagai suatu kebijakan yang bersifat terbuka (open door policy), Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 (selanjutnya disingkat UU No. 7/1994) telah mengesaskan Persetujuan Tentang Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement on Establishing the World Trade Organization yang selanjutnya disingkat WTO) yang terbentuk melalui Persetujuan Umum Tentang Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tarifs and Trade  selanjutnya disingkat GATT). Pengesahan tersebut didasari kesadaran adanya peluang dan tantangan yang timbul karena kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi yang telah mampu menerobos batas-batas negara, berikut perangkat sosial, budaya, ekonomi dan hukumnya.[11]
Dalam rangka mencapai persaingan sehat (Fair competition) ada tiga instrumen hukum yang perlu ditegakkan yakni Hukum Persaingan (competition law atau antitrust law), Hukum Pencegahan Persaingan Curang (unfair competiton prevention law) dan Hukum Hak Kekayaan Intelektual (intellectual property rights law). Hukum persaingan (competition law) bertujuan untuk memastikan bahwa pasar eksis sebagai wadah Persaingan Sehat (fair competition), contohnya dilarang praktik monopoli, dilarang menyalahgunakan posisi dominan di pasar. Hukum pencegahan persaingan curang (unfair competition prevention law) bertujuan agar dalam persaingan pasar, para pelaku bisnis tidak bertindak secara bertentangan dengan praktik yang jujur di bidang industri dan komersial, misalnya dilarang menyesatkan (mislead) konsumen, memberikan pernyataan yang salah (false allegation) untuk mendeskriditkan pesaingnya. Sedangkan Hukum HKI (IP law) bertujuan untuk memberikan perlindungan atas kreasi intelektual terhadap tindak pembajakan (piracy) atau pemalsuan (counterfeiting).[12]
Kerangka aturan hukum Hak Kekayaan Intelektual (IP law) diatur dalam salah satu agenda WTO yakni Persetujuan tentang Apek-Aspek Dagang yang Terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual Termasuk Perdagangan Barang-Barang Palsu (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods selanjutnya disingkat TRIPS). TRIPs meningkatkan standar perlindungan HKI dengan tujuan substantif dan objektif (objective and substantive purpose) sepanjang hal tersebut akan memberikan kontribusi bagi peningkatan perdagangan yang sehat dan lebih terbuka. TRIPs didasari pada pertimbangan bahwa perdagangan barang-barang palsu merupakan hambatan perdagangan dan bertentangan dengan persaingan sehat (fair competition), namun disadari pula  bahwa pelaksanaan dan Penegakan HKI yang tidak benar dapat pula menjadi hambatan perdagangan. [13]
Berdasarkan Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut maka setiap orang memiliki hak untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas hidupnya. Hak cipta memberikan perlindungan agar pencipta dapat sepenuhnya mengambil manfaat dari hasil ciptaannya. Pengaturan tentang hak cipta itu telah diatur secara khusus melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Berdasarkan undang-undang tersebut secara eksplisit melindungi setiap karya ciptaan sehingga setiap pencipta dapat menikmati manfaat haknya terhadap ciptaan yang dibuat. Selain itu diberikan sanksi bagi pelaku yang melakukan pelanggaran terhadap hak cipta sehingga secara tidak langsung memberikan motivasi untuk setiap orang berkarya dengan lebih baik karena adanya jaminan hukum. Undang-undang ini juga secara umum mengatur tentang lingkup hak cipta, masa berlaku, pendaftaran ciptaan, lisensi, dewan hak cipta, hak terkait, pengelolaan hak cipta, biaya, penyelesaian sengketa, penetapan sementara pengadilan penyidikan ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.[14]
Hak cipta memberikan perlindungan terhadap pencipta untuk dapat memperoleh manfaat maksimal atas ciptaaannya serta menjaga hak-haknya tersebut agar tidak dirampas oleh piak-pihak yang tidak berhak. Negara memberikan hak-hak berupa hak moral dan hak ekonomi terhadap pencipta ataupun pemegang Hak Cipta.
Pengaturan hak cipta di Indonesia diawali dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang kemudian diamandemen sebanyak 3 (tiga) kali sampai pada berlakunya Undang-Undang Hak Cipta. Hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta adalah diaturnya hak persewaan atau rental rights yang memang belum pernah diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta terdahulu. Selain itu Undang-Undang Hak Cipta juga menempatkan pelanggaran terhadap hak cipta sebagai tindak pidana biasa, bukan delik aduan sebagaimana dianut dalam Undang-Undang Hak Cipta terdahulu serta memberikan kesempatan bagi pencipta dan pemilik hak cipta untuk mempertahankan haknya melalui gugatan perdata atau pun tuntutan pidana yang tertuang dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Hak Cipta. Dari ketentuan Pasal 1 angka satu tersebut diatas maka di analisa sebagai berikut:[15]
Pertama, hak cipta pada hakekatnya adalah perjanjian antara pencipta dengan pihak lain untuk mengumumkan dan atau memperbanyak ciptaannya. Konsekuensi logis dari definisi ini adalah: a. Peran pemerintah hanyalah sebagai administrator, akan tetapi tidak menerbitkan atau memberikan hak seperti paten. Hal ini tercermin dalam sistem pendaftaran hak cipta yang bersifat Negatif Deklaratif artinya setiap orang yang mendaftarkan karya ciptanya dianggap sebagai pencipta, kecuali terbukti sebaliknya (Pasal 5); b. Pada dasarnya hak cipta diakui keberadaannya apabila ciptaan itu merupakan karya original (hasil dari daya kreatifitas pencipta) dan dalam bentuk yang tetap dan nyata (fix and tangible) (Pasal 12); c. Pendaftaran ciptaan bukanlah suatu keharusan, karena tanpa pendaftaran pun karya cipta secara otomatis sudah mendapatkan perlindungan hukum (Pasal 2). Adapun cara yang diakui secara internasional sebagai berikut: 1. Untuk karya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra cukup dengan membubuhkan tanda © disertai nama pencipta dan tahun penerbitan. 2. Untuk karya rekaman (audio dan audivisial) dengan membubuhkan tanda P atau N di dalam lingkaran disertai tahun penerbitan. 3. Untuk memperkuat pengakuan perlindungan hak cipta dapat ditambahkan maklumat Todos los derechos reservados atau All Rights Reversed yang maksudnya adalah hak cipta dilindungi undang-undang. Di Indonesia, pendaftaran ciptaan bukan merupakan suatu keharusan bagi pencipta atau pemegang hak cipta, dan timbulnya perlindungan suatu ciptaan dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pendaftaran. Namun demikian, surat pendaftaran ciptaan dapat dijadikan sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap ciptaan.[16]
Kedua, Undang-undang telah menetapkan secara limitatif jenis ciptaan yang dilindungi dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra yang terdapat pada Pasal 12 Undang-Undang Hak Cipta sebagai berikut: Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (layout) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu; Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; Lagu atau musik dengan atau tanpa teks; Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim; Seni rupa, dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan; Arsitektur; Peta; Seni batik; Fotografi; Sinematografi; Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalih wujudan.[17]
Ketiga, jangka waktu berlakunya hak cipta berdasarkan objeknya secara umum adalah selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia kecuali, program komputer, sinematografi, database, dan karya pengalihwujudan berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan. Sedangkan hak cipta atas susunan perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali diterbitkan (Pasal 29 dan 30).[18]
Keempat, Hak pencipta dan atau pemegang hak cipta dibagi menjadi Hak Ekonomi dan Hak Moral. Hak Ekonomi adalah mengizinkan atau melarang orang lain untuk mengumumkan dan atau memperbanyak ciptaannya. Sedangkan Hak Moral adalah hak yang melekat pada pencipta, yaitu hak yang selalu dicantumkan nama pencipta dalam setiap ciptaannya dan hak atas setiap ciptaannya terhadap perubahan isi maupun judul. Hak moral ini tidak bisa dialihkan seperti hak ekonomi.[19]
Kelima, pemanfaatan hak cipta tidak sepenuhnya bersifat monopoli seperti paten, karena ada pengecualian yang berdasarkan pada pemanfaatan untuk kepentingan masyarakat (fair dealing), yang tidak termasuk dalam pelanggaran hak cipta. Di dalam Undang-Undang Hak Cipta terdapat 2 (dua) pasal yang mengatur pengecualian ini, yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Hak Cipta. Salah satu hal yang diatur di dalam Pasal 14 dan bukan merupakan pelanggaran Hak Cipta adalah tentang pengumuman dan atau perbanyakan lambang negara dan lagu kebangsaan menurut sifat yang asli. Sedangkan Pasal 15 mensyaratkan pencantuman sumbernya agar tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta.[20]
Keenam, Undang-Undang Hak Cipta juga memberikan pilihan mekanisme bagi pencipta dan atau pemegang hak cipta untuk mempertahankan haknya dengan dua cara, yaitu: 1. Melalui gugatan perdata, sebagaimana diatur dalam Pasal 56 Undang-Undang Hak Cipta yang menyatakan bahwa pencipta atau pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan perdata, yang meliputi gugatan ganti rugi, permohonan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran serta permohonan penyerahan seluruh atau sebagian penghasilan dari pelanggaran. Selain itu pemegang hak cipta juga berhak meminta penetapan sementara dari hakim agar memerintahkan pelanggar menghentikan segala kegiatan pelanggaran hak cipta agar tidak timbul kerugian yang lebih besar bagi pemegang hak cipta. Gugatan perdata ini dapat di ajukan di pengadilan Niaga yang berkedudukan di 4 kota besar di Indonesia yaitu Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar. Sedangkan pelanggaran atas hak moral dari pencipta tetap dapat diajukan oleh pencipta atau ahli warisnya bila pencipta telah meninggal dunia; 2. Melalui tuntutan pidana, pengajuan gugatan perdata dalam pelanggaran hak cipta tidak menggugurkan hak negara untuk melakukan tuntutan pidana. Pasal 72 Undang-Undang Hak Cipta telah mengatur ketentuan pidana dengan sanksi pidana yang cukup tinggi.[21]

C.    Bentuk Tindak Penyalahgunaan UU Hak Cipta
Indonesia merupakan negara darurat pembajakan hak cipta tak ayal Indonesia menjadi negara dalam daftar prioritas yang diawasi  (Priority Watch Bist) oleh United States Trade Representatid (USTR) sebagai salah satu negara yang tingkat pelanggaran hak milik intelektual yang cukup tinggi. Bertolak dari hal tersebut ini merupakan suatu tantangan bagi bangsa Indonesia, khususnya para aparat penegak hukum dan penerapan sanksi-sanksi hukum terhadap setiap pelanggaran hak cipta yang terjadi berdasarkan peraturan perundang-undangan UU Nomor 28 Tahun 2014.
Dalam menghasilkan sebuah karya cipta dibutuhkan banyak proses. Misal untuk membuat sebuah karya film dibutuhkan penulisan naskah, casting pemeran, shooting, editing video dan masih banyak lagi. Semua proses tersebut tentu memerlukan banyak tenaga dan biaya. Atau untuk menghasilkan sebuah karya buku seorang penulis terlebih dahulu proses penyiapan ide,  pengetikan, pengeditan, mendaftarkan ISBN, percetakan, hingga buku dapat hadir di toko dan siap untuk dibaca.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan Undang-Undang Hak Cipta adalah segala bentuk pembajakan hasil karya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra baik melalui dunia nyata maupun dunia maya. Contoh pelanggaran hak cipta dalam media internet diantaranya adalah pembajakan lagu dan film. Untuk saat ini banyaknya pelanggaran Hak Cipta di dunia sering terjadi khususnya di internet. Banyaknya orang sering mendownload lagu-lagu secara gratis tanpa dikenakan biaya atau doenload dari website seperti google dan youtube sehingga menebabkan kerugian ekonomi bagi setiap Negara.[22]
Saat ini illegal download (unduhan secara illegal) mencapai 92 lagu perdetik, 7 juta lagu per hari, dalam satu tahun ada 2,8 miliar lagu. Pembajakan musik dengan mengunduh secara illegal mengakibatkan kerugian mencapai triliunan rupiah. Kerugian semakin besar seiring dengan aktivitas unduhan musik secara ilegal melalui Internet. Akibat pembajakan, kontribusi subsektor musik terhadap pembentukan PDB sektor ekonomi kreatif dan pariwisata sangat minim, yakni hanya 0,8% atau sekitar Rp4 triliun dari Rp640 triliun.[23]
Tak berbeda jauh dengan kasus pembajakan karya seni, pembajakan ilmu pengetahuan dan sastra dalam hal ini ialah buku juga demikian. Ironisnya, Ikatan Penerbit Buku Indonesia (IKAPI) menduga sebagian besar pembajakan buku terjadi di lingkungan kampus. Sinyalemen itu setidaknya dibuktikan ketika IKAPI melakukan penggerebekan terhadap buku bajakan berkali-kali selama ini, pembajak itu ternyata berada di lingkungan kampus. Pembajakan buku ini sudah merajalela di seluruh Indonesia terutama di kota-kota besar antara lain di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Lampung dan Medan. Bila dibandingkan harga buku asli dengan harga buku ilegal mencapai separuh bahkan bisa 60 %  lebih murah dibandingkan buku asli. Seorang pembajak atau organisasi kebanyakan adalah pemilik fotocopy.
Adapun faktor yang memotivasi pembajakan buku dikalangan mahasiswa kampus memfotokopi buku referensi mengacu pada persepsi dosen bahwa memfotokopi seluruh isi buku dengan tidak mengkomersialkannya adalah bukan pelanggaran hak cipta, atau bisa dikatakan jika memfotokopi untuk kepentingan pendidikan adalah tidak melanggar hak cipta. Hal ini bisa disebabkan karena ketentuan Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Hak Cipta kurang memberikan penjelasan tentang ukuran yang bisa dikatakan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Alasan yang kedua yaitu jika buku asli tidak terbit lagi dan yang ketiga harga buku terlalu mahal.[24]
Demikian juga alasan mahasiswa melakukan fotokopi buku referensi yang pertama adalah karena buku referensi tersebut sudah tidak terbit kembali, yang kedua adalah adanya sebagian mahasiswa mempunyai pendapat bahwa melakukan fotokopi seluruh isi buku referensi tidak melanggar hak cipta. Sikap ini bisa timbul berdasarkan analisa tabel sebelumnya bahwa sebagian besar mahasiswa tidak paham isi Undang-Undang Hak Cipta walaupun mahasiswa mengetahui Undang-Undang Hak Cipta itu telah berlaku baik mahasiswa di lingkungan perguruan tinggi. Sedangkan alasan yang ketiga karena harga yang mahal menjadikan praktek pelanggaran hak cipta akhirnya menjadi sah dilakukan. Hal ini ditunjang oleh dosen kurang mau menekan mahasiswa dengan meminta mahasiswa wajib memiliki buku ajar meskipun dosen juga tidak menganjurkan melakukan fotokopi. Sehingga sikap yang tidak tegas ini bisa melahirkan adanya kemungkinan pelanggaran hak cipta yang dilakukan mahasiswa[25]
Bab III
Penutup
    A.    Kesimpulan
Sejarah Undang-Undang Hak Cipta di Indonesia dimulai pada Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982. Peraturan perundang-undangan Hak Cipta di Indonesia mengalami banyak perubahan, perubahan tersebut seiring dengan perubahan zaman.  Hal itu sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia sebagai anggota World Trade Organisation (WTO) dan Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) yang disetujui di Marakesh Maroko pada 15 April 1994. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 menjadi Perundang-undangan Hak Cipta terbaru di Indonesia.
Hukum HKI (IP law) bertujuan untuk memberikan perlindungan atas kreasi intelektual terhadap tindak pembajakan (piracy) atau pemalsuan (counterfeiting). Hak cipta memberikan perlindungan agar pencipta dapat sepenuhnya mengambil manfaat dari hasil ciptaannya. Negara memberikan hak-hak berupa hak moral dan hak ekonomi terhadap pencipta ataupun pemegang Hak Cipta.
Bentuk-bentuk penyalahgunaan Undang-Undang Hak Cipta adalah segala bentuk pembajakan hasil karya di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra baik melalui dunia nyata maupun dunia maya. Contoh pelanggaran hak cipta dalam media internet diantaranya adalah pembajakan lagu dan film. Akibat pembajakan yang dilakukan illegal download , kontribusi subsektor musik terhadap pembentukan PDB sektor ekonomi kreatif dan pariwisata sangat minim, yakni hanya 0,8% atau sekitar Rp4 triliun dari Rp640 triliun. Tak berbeda jauh dengan kasus pembajakan karya seni, pembajakan ilmu pengetahuan dan sastra dalam hal ini ialah buku juga demikian. Ironisnya, Ikatan Penerbit Buku Indonesia (IKAPI) menduga sebagian besar pembajakan buku terjadi di lingkungan kampus.

DAFTAR PUSTAKA

Jened, Rahmi, “Interface Hukum Kekayaan Intelektual dan Hukum Persaingan
(Penyalahgunaan HKI),” Rajawali Pers, Jakarta, 2013
Kusmawan, Denny, “Perlindungan Hak Cipta Atas Buku” Perspektif, Volume XIX No.
Syafrinaldi, “Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual dalam Menghadapi
Era Globalisasi” UIR Press Pekanbaru, Pekanbaru, 2001
Rumani, Sri, Aspek Hukum dan Bisnis Informasi, Universitas Terbuka, Tangerang
Selatan, 2014
Rantung, Reyfel A, “Hak Cipta dalam Jaringan Internet ditinjau dari Undang-Undang
Hak Cipta” Vol.II No.1 2014 diakses dari http://repo.unsrat.ac.id/421/1/HAK_CIPTA_DALAM_JARINGAN_INTERNET_DITINJAU_DARI.pdf




[1] Syafrinaldi, “Hukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual dalam Menghadapi Era Globalisasi” UIR Press Pekanbaru, Pekanbaru, 2001 hlm. 12
[2] Ibid., hlm. 1
[3] Ibid., hlm. 2
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 32
[7]  Sri Rumani, Aspek Hukum dan Bisnis Informasi, Universitas Terbuka, Tangerang Selatan, 2014, hlm. 1.3
[8]  Ibid., hlm. 1.4
[9] Jened, Rahmi, “Interface Hukum Kekayaan Intelektual dan Hukum Persaingan (Penyalahgunaan HKI),” Rajawali Pers, Jakarta, 2013 , hlm. 1
[10] Ibid., hlm. 2
[11] Ibid.,  hlm. 3
[12] Ibid., hlm. 5
[13] Ibid., hlm. 6
[14] Rantung, Reyfel A, “Hak Cipta dalam Jaringan Internet ditinjau dari Undang-Undang Hak Cipta” Vol.II No.1 2014 diakses dari http://repo.unsrat.ac.id/421/1/HAK_CIPTA_DALAM_JARINGAN_INTERNET_DITINJAU_DARI.pdf pada 10 Mei 2018 pukul 15:00 WIB
[15] Kusmawan, Denny, “Perlindungan Hak Cipta Atas Buku” Perspektif, Volume XIX No. 2 Tahun 2014 Edisi Mei hlm.4 diakses dari  http://jurnal-perspektif.org/index.php/perspektif/article/view/16 pada 10 Mei 2018 pukul 15:10 WIB
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Ibid.
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] http://ditjenhki.kemenkumham.go.id/kumpulan-berita/234-perlunya-perlindungan-hak-cipta-di-dunia
[23] http://lifestyle.bisnis.com/read/20150518/225/434253/28-miliar-unduhan-ilegaltahun-ri-darurat-pembajakan-musik
[24] Kusnamawan, Denny, op.cit., hlm.6
[25] Ibid

Posting Komentar untuk "PELANGGARAN HAK CIPTA DI INDONESIA"